samedi 23 juin 2007

KIDUNG SANG CAMAR


Di dermaga ini, saya adalah seekor burung camar....*

terbang jauh dari tanah dimana laut tak lagi biru dan bergandeng tangan di tepi pantai tak lagi berjalan diatas pasir, melainkan tumpukan sampah berlendir.

saya menukik dari langit yang tak lagi bersemu biru ataupun ungu. hitam asap dan jelaga telah meranggaskan bahagia kepakan sayap putihku yang kini mulai kelabu...

Di dermaga ini, saya hinggap sejenak.
Melepas segala lelah dari semua resah gelisah yang selalu singgah.
Hingga parau suaraku teriakkan segala sumpah serapah terhadap mereka yang telah membuat air mata merah darahku tertumpah.
Luapkan amarah pada mereka yang telah merebut tanahku yang subur memerah, yang telah hanguskan pohon-pohon di hutanku yang tak lagi sisakan kuncup bunga merekah, yang telah hancurkan mimpi-mimpi yang dibangun dengan tetesan keringat air mata dan darah...

Saya cuma seekor burung camar yang marah dan lelah....

(*disadur dari kalimat pembuka Saman, karya Ayu Utami)

mardi 19 juin 2007

KARAWACI, 1 JUNI 2007

Kami mengendap perlahan mengira mendaki tangga dunia. Indahkah suaraku hai Hawa-ku? Indahkah suara yang akan segera berlari menyusuri udara, sampaikan segala pencerahan dari tanah dimana matahari biasa terbenam, pada putra-putri bangsa? Jantungku berdebar cepat, Hawa-ku...aku takut tak cukup lantang untuk membangunkan mimpi kosong seisi negeri.

Ah, janganlah kau khawatir Adam-ku...terimalah kenyataan bahwa lantang mimpi yang kau teriakkan hari ini, akan baru terdengar kelak belasan hingga puluhan tahun nanti. Biarlah saat ini, aku saja yang menyimpan seru mimpi-mimpimu dalam ceruk sebentuk gendang dalam telingaku. Seperti yang sudah-sudah, aku menyimpan aman semua kalimat tawa luka perih letihmu dalam telinga dan hatiku, Adam-ku.

Aku lelaki yang bermimpi melukis langit malam dengan warna yang cerah dan menghijau daunkan danau yang hitam galau. Aku adalah lelaki yang akan membuka pintu-pintu cakrawala agar menerangi dunia. Aku adalah lelaki yang melebur dalam dingin salju, panas tropika. Aku adalah ia yang gugur bersama daun-daun merah keemasan dan terlahir kembali bersama mekarnya kuncup-kuncup cinta. Sayapku selalu mengepak, selalu siap melesat terbang. Jangan kau tunggu aku, Hawa-ku...kita akan berpisah segera setelah putri penjajah dari tanah yang paling datar datang menjemputku. Genggamku hanyalah sementara, dalam hidupku tak pernah ada kata selamanya. Buang saja, bakar semua ingatanmu akan hari ini. Jangan pernah kau coba pahami aku yang terbiasa sendiri. Surga ini dulu hanya untukku, sebelum ada kamu...si penggoda yang menyelingkat langkah surgawiku. Rindu dendamku yang dicipta Tuhan dari tulang rusuk rapuhku sendiri.

Jum’at ini awal Juni, Adam-ku. Tepat dua tahun yang lalu pertama kalinya kupetik buah mangga penuh vitamin cinta di taman lantai tiga. Ironis sekali bila kini aku malah berada bersamamu di taman Getsemani ini dan tak kujumpai mangga melainkan buah khuldi. Adam-ku,ingatkah kau sabda-Nya agar kita jauhi pengetahuan khuldi? Tak kuduga engkaulah yang Ia maksud. Begitulah kamu selalu, Adam-ku...manusia setengah buah khuldi. Menarik, menggoda dan menggelincirkan manusia dari surga-Nya. Kau gelincirkan aku dari lurus jalan hidupku. Kau gelincirkan semua kitab yang pernah dikenal manusia dengan berkata akulah yang menggodamu dan menjungkirkanmu dari sejuknya nirwana. Mereka tak tahu, Adam-ku...tapi aku, kau dan Tuhan kita tahu kejujuran di balik bagaimana bermulanya segala pertumpahan liur tawa, darah, keringat dan airmata dunia.

What a wonderful world, Hawa-ku! Kemarilah, Fly me to the moon dan akan kutunjukkan padamu betapa indahnya dunia meski belum genap lima puluh kali kita berkencan. Katakanlah padaku bahwa kau masih mengingat semuanya dan bahkan masih seperti biasa mencatat semua sejarah kita dalam suhuf-suhuf hatimu. Jangan biarkan cintamu terbang bersama hitam emisi dari knalpot bis yang kita tumpangi atau menguap bersama jelaga asap kereta yang akhirnya berangkat tanpa kita. Buanglah kenanganmu terhadapku, tapi jangan pernah kau buang cintamu kepadaku, hai Hawa-ku.

I’d prefer to have a quiet world now, Adam-ku. Hening. Bening. so peaceful so quiet...shhhhh....Berpikir jernih. Kembali pada dunia ketika aku masih menjadi rusuk rapuhmu. Segalanya terasa lebih tenang dan bahagia ketika aku masih menjadi lengkung putih rapuh yang melindungi hatimu yang juga rapuh, ketika aku belum menjelma nyata dan berdiri berhadapan denganmu...ketika aku masih berada dalam tubuhmu, menyangga hidupmu. Mungkin kau tak sadar, diam-diam rusuk memperhatikan dengan seksama apa yang dirasa oleh detak hati yang dijaganya. Ah, Adam-ku kenapa masih saja kau terkejut dengan pengetahuanku atas dirimu? Lupakah engkau bahwa kita adalah satu dan selamanya akan begitu...

(oleh-oleh terpukau tertibnya Lippo Karawaci, 1 Juni 2007)