dimanche 19 août 2007

KENANGAN HUJAN FEBRUARI

Kalau boleh...aku ingin hujan yang menghijaukan daratan dan meresap mantap ke dalam tanah untuk kelak menyejukkan tenggorokan dan tentu saja menjaga kehidupan. (Aku tahu, matahari memang harus terbit setiap hari..tapi ada kalanya ia harus mengalah pada awan kelabu yang menangiskan hujan. hidup memang tidak harus selamanya bahagia. langit tak harus selamanya cerah dan hujan tidak harus selamanya sendu...)

Kalau boleh, aku ingin hujan tak usah mendendam menjadi banjir dan menghukum orang-orang yang mencoba melawan takdir :membuang sampah-sampah anyir dan membabat pohon-pohon hingga tinggal tunggir. Banjir tak akan mampu membuat mereka tersindir...

Kalau boleh, aku ingin hujan Rabu malam saja. Hujan yang penuh tawa dan membuatmu berharap semua payung diciptakan hanya untuk seorang saja agar kau bisa punya alasan bagus untuk merapat dan menggandeng lengan seseorang yang diam-diam kau suka agar tak terkena tempias hujan.

Kalau boleh, aku ingin hujan yang membuat pasukan ojek payung tak cuma memanen demam tapi juga rupiah...bukan hujan yang memperkaya pasukan ojek gerobak yang gagah berani melintasi sungai dadakan yang tiba-tiba membelah jantung kota.

Kalau boleh, aku ingin hujan tak lagi ciptakan sedu sedan macam yang kemarin terjadi di akhir pekan...

kalau boleh, aku ingin hujan yang sejukkan tanah dan jiwa, bukan hujan yang hilangkan harta dan nyawa.

BLESSED ARE THE FORGETFULS

ajari aku bagaimana rasanya lupa,
hilangkan cerita..
tak ingat sesiapa
dan apa-apa
:)

TAROT STORY

mine: HIEROPHANT.REVERSED
I feel alive and a bit anarchic. I became rebellious against all establishmnet and rules, they made me claustrophobic. I might turn against my background and reject my parental values to seek my own truths.
I'm in danger of judging a book by its cover and being overly impressed by titles or letters after someone's name. Do not rush into any new agreements, they will prove dissapointing.


his: QUEEN OF CUPS.REVERSED
you caused a sustained painful emotional wounds on this woman. you locked her into unhappy and unfulfilling relationship. this might come from your repressed emotions and background. now you put an enormous self pity on yourself and feel emotionally exhausted
There are four things we can not change in life. A stone after the throw, a word after it is said, an occasion after the loss and time after its gone.

DAYS OF A DAY BEFORE MY BIRTHDAYS

1999
Kupandang langit malam yang bertudungkan manik-manik pijar bintang dari ketinggian Bandung yang dingin dan sendu. Inginnya aku terbang diantara cerlang bintang dan merengkuh terangnya yang diam-diam meradang. Begitulah bintang, begitulah aku...hanya bisa terdiam memandang kembali semuanya dari kejauhan, menahan segala kerinduan pada masa kanak-kanak yang penuh kebahagiaan. Tawa dan mainan, dongeng dan empeng, ceria dan cerita, dekat dan jauh dari kedua orang tua ...Aku kini berusia dua puluh satu, tak lagi kanak-kanak, aku sudah tua tapi belum dewasa.


1978
Hujan masih saja menggigilkan pojokan Bandung. Seorang calon ayah terkejut bahagia kala maghrib itu dilihatnya seorang teman berdiri di depan pintu rumahnya. Ahhh, kau rupanya! masuklah..lama sudah kita tak bertemu! Lelaki yang berdiri di depan pintu rumahnya menggeleng cepat, lalu bergegas menyorongkan sebuah amplop coklat yang ia yakin sebenarnya tak akan pernah dapat mengganti segala jasa dan budi baik sang calon ayah pada dirinya.
Calon ayah itu tertegun haru, ia tak pernah mengharapkan semua ini. kebaikan tak akan pernah menjadi kebaikan manakala pamrih menguntit di belakangnya. Lelaki itu tetap menjejalkan amplop coklat itu dan memeluknya sebelum bergegas pergi dibawah rinai hujan yang belum juga bosan. Calon ayah bergegas menemui istrinya, berdua mengucap syukur dan berkata pada si bayi yang tengah bergelung dalam hangatnya rahim ibunda, sambil tersenyum dan mengelus bulat perut ibunda, ini rizkimu, Rizki...


2003
Kupandang langit malam yang bertudungkan manik-manik pijar bintang dari balik jendela Kramat Jati yang dingin dan lelap. Siluet sawah membentang bagai beludru hitam menutupi petang. Kisah hidup terkenang dalam kerjapan-kerjapan mata di tengah gelap. apa yang kiranya tengah kukenang? apa yang sedang kulakukan sekarang dan apa yang kiranya akan segera kujelang?
Yogyakarta menghampiriku kala malam mulai tergelincir ke dini hari. Sendirian saja aku berjalan menyusuri Poncowinatan, menyusuri Malioboro hingga Ngasem, menjelajahi Terban hingga Kauman. Sendiri, mengikuti kehendak hati mencari hilangnya jejak diri yang hilang ditelan riuh rendahnya deru mesin-mesin penenun kain dobi, memunguti makna diri yang raib terselip di sela dentaman musik yang membuatku bergoyang hingga menjelang pagi, menelisik lagi kemana hilangnya iman yang dulu selalu memberiku kekuatan. Sendiri dalam pandangan yang mulai kabur, tak bisa lagi bedakan mimpi dan kenyataan, keringat dan air mata yang terus berlinangan, harapan dan kecemasan...
Mama, ijinkan aku kembali bergelung dengan aman dalam hangat rahimmu yang nyaman.


2007
Dalam sujudku, kulantunkan do'a dengan segala kerendahan hati padamu Ya Rabb, Tuhan semesta alam, yang memiliki hidupku dan bahagiaku, yang mengalirkan airmataku dan menghapuskan segala lukaku.
Allahu Rabbi...aku tak akan meminta kekayaan kepadaMu, sebab kutahu dunia tak akan pernah cukup untuk memuaskan dahaga manusiawiku akan materi. Allahu Rabbi, akupun tak akan meminta agar aku diberi umur yang panjang, sebab aku tahu mungkin saja aku akan semakin lama menyia-nyiakan usiaku. Allah terkasih, akupun tak akan meminta agar aku diberi bahagia, sebab aku tahu kadang bahagiaku malah akan membuat hati yang lain terluka ataupun merana.
Ya Allah, dalam tangis sujudku...aku hanya meminta kepadaMu dengan sepenuh hati setulus diri, agar kau sudi memberikan padaku sebentuk keikhlasan. Keikhlasan yang mampu membuatku merelakan tawa, tangis, bahagia, amarah, perjuangan, kemenangan dan kekalahan yang pernah berlalu, yang kini kualami dan akan kualami. Yang bisa membuatku sanggup mengerti bahwa tiada sesuatupun yang abadi dan hanya kepadaMu semuanya akan kembali. Tak kuminta bahagia, sebab tanpa ikhlas...segala yang tampak sebagai kebahagiaan hanya akan terasa sebagai kekalahan, segala yang tampak kemilau hanya akan makin membuatku risau dan galau, segala yang tampak indah akan terasa menjemukan, buruk dan membuat gundah.
Maka, malam ini...sebelum usiaku bertambah satu dan hidupku berkurang satu, kumohon dengan segala kerendahan dan kenistaan diri yang tak berarti ini...berilah aku ya Allah, ya Tuhanku, Raja segala di raja, Kekasih dari segala kekasih...sebuah keikhlasan untuk menjalani hidup sepenuh-penuhnya, sebelum penyesalan datang di akhir nanti.

PARADOKS

Disini aku berdiri, tersenyum tertawa merengkuh dunia.
Wajah sumringah cerminan jiwa yang teriakkan bahagia,
meski setengah diriku tengah merasa hampa.
Disana kamu berdiri, hanya kupandangi diam-diam dalam senyap.
Senyumku samarkan rinduku atas bahagia yang tiba-tiba lenyap,
sia-sia menutup lubang di hati dimana kau pernah hinggap.
Mungkin kamu tak pernah tahu rasanya menjadi aku.
kamu disitu dan aku harus berusaha menganggapmu bagai angin lalu,
menyimpan kenangan kita dalam hati dan bersikap laksana hantu.
lalu. bisu. semu.
Sometimes all you need to do is just following your heart...

Bila cinta memanggilmu
Kau ikuti kemana ia pergi
Walau jalan terjal berliku
Walau perih selalu menunggu...
Jika cinta memelukmu maka dekaplah ia
walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu


Kudengar Gibran menyanyikannya di sela sela rantai jangkar yang mulai berkarat, tertambat pada sebuah pasak kayu di sebelah kiriku. Aku merasa duduk sendirian diantara dua pasak kayu di dermaga ini, meskipun sesesok yang serupa pasak kayu di sebelah kananku terus mengajak berbicara. kaki-kaki kami terjuntai mencelup hangatnya laut toska yang berkilauan diterpa cakram cahaya yang mulai rebah ke ufuk barat. sesekali jari-jari kaki kananku bersentuhan dengan jari-jari kaki kirinya, sesekali pula hatiku bersentuhan dengan hatinya.
Angin asin membawa wangi garam yang mengetuk-ngetuk di depan pintu hidung kami. "Andai selamanya bisa begini..." gumamku perlahan sambil memainkan jemari pasak kayu di sebelah kananku sebelum akhirnya perlahan dan enggan ia menarik jari-jarinya dan berkata, "Aku tak ingin selamanya begini...aku tak bisa terpaku hanya pada suatu keadaan atau suatu waktu". Angin asin memainkan rambutku hingga berkibar-kibar bagai bendera yang tertancap di puncak kapal yang melintasi kami, aku meliriknya dan diam-diam merasa menyesal melihat potongan rambutnya yang begitu pendek dan kaku oleh gel rambut. Aku ingin beroleh kesempatan merapikan rambutnya dengan lembut, seolah dengan begitu telah menunjukkan seluruh perhatian dan sayangku padanya.

"Lalu apa yang kau mau?" ujarku singkat sambil melemparkan sebutir serpih cadas kecil sekuat-kuatnya ke tengah lautan. batu itu seperti melompat ringan dua kali diatas bantalan air sebelum akhirnya terbenam untuk selamanya ke dalam misteri samudra. Ia mengangkat bahu tepat disaat batu itu terbenam untuk selamanya. Lalu kukatakan padanya mengapa aku begitu mencintai laut dan dia bertanya mengapa? Sebab laut selalu mengingatkan diriku padamu, sayang...begitu jawabku sambil berdiri dan meregangkan seluruh otot-ototku yang lelah terlalu lama duduk dan menanti. Ia menarikku duduk kembali, mengapa kau samakan aku dengan laut hai gadis?

Ah, tidakkah kau lihat pantulan wajahmu sendiri dalam bening laut toska yang berkilauan diterpa cakram cahaya yang mulai rebah ke ufuk barat? Kau adalah lautku, sayang...tempat segala rahasia dan pikirku bermuara*. Lihat, lihatlah lagi lebih jauh ke dalam laut dibawah kaki kita, cinta...tataplah tatapanmu sendiri. Tidakkah kau sadari adanya samudra yang maha luas dan maha tak terduga tersimpan di sorotnya? kadang kau begitu teduh dan menyejukkan memberi asa kehidupan, namun kadang mematikan kala badai datang menggulung semua kebaikan. Sedikit guncangan di dasar hatimu akan membangkitkan tsunami yang tiba-tiba dan penuh murka, menyeret semua yang ada di hadapanmu, semua yang kau kasihi, tanpa ampun meski akhirnya menyesal. habis tanpa sisa, tanpa asa...dalam lautmu telah kutenggelamkan segala cinta yang kupunya dalam sebuah peti kemas serupa kotak harta karun yang amat berharga. kelak buktikanlah kalau perasaanku tak terbuat dari besi yang mudah lantak oleh karat. semakin lama, tak akan kau temukan sedikitpun korosi padanya...bahkan akan kau saksikan bagaimana ia semakin berkilau dan berpijar terang, hingga pada suatu ketika orang-orang di penjuru dunia akan berkata kiamat telah tiba, sebab matahari bagaikan terbit selamanya dari dasar lautmu.

Ia cuma tersenyum mendengar pembelaanku yang berpijar terang..."Kamu bicara apa sih? Aku sudah punya kekasih", katanya sambil menarikku duduk kembali di sampingnya. Menggenggam tanganku lembut dan menerawang..."Maaf, tapi seharusnya kau sudah tahu..." Aku terdiam dan membenamkan wajahku dalam telapak-telapak tanganku yang guratannya telah menyiratkan nasib buruk ini. matahari telah lelah dan kini sepenuhnya rebah di peraduannya. dermaga itu kini gelap, cuma beberapa lampu masih berkejap-kejap sia-sia mengusir senyap. kami masih duduk bersebelahan tunduk tanpa banyak cakap dan tetap saling bersedekap.

*inspired by Bob Tia's poem
-this fiction was dedicated to the madness of sunset on Bakauheni,020607-

CERITA LUKA

telah kupelajari luka-luka yang lama sudah mengerak di dalam detak jantungku.
aku berhasil, kawan!


dengan bantuan mantra dan do'a dari kitab suci yang paling suci dan buku-buku ensiklopedi psikologi, aku telah menjadikannya serum yang mampu mengelotok segala borok, mengelupas segala duka yang menyesakkan napas dan membuat binasa segala rasa putus asa yang telah lama bercokol di dalam dada.

kuhampiri ia mula-mulanya dan kutanya dengan nada yang paling ramah..,"tidakkah kau bosan? bertahun-tahun sudah kau mendekam dalam jiwa dan pikirku yang sempit ini. tidakkah kau ingin pergi? ruang dalam hatiku ini sudah menjadi terlalu sempit untuk kubagi denganmu, hai luka lara. maafkan, aku terpaksa mengusirmu...kalau perlu dengan kejam! sebab penghuni baru penggantimu telah teken kontrak denganku beberapa hari yang lalu"
lalu luka bertanya kepadaku, " siapa yang kiranya menggantikanku, hai gadis yang selalu mencintaiku? mengapa kau tiba-tiba bosan padaku? aku telah menemanimu dengan setia hampir selama hidupmu. aku yang telah membersihkan matamu setiap hari dengan air mata kesedihan yang tak kunjung usai, aku yang telah melindungimu dari goda para lelaki dengan tudung tudung kepahitan, aku yang selalu menjagamu dari nyeri di batinmu dengan kunci yang mengatupkan mulutmu agar tak lolos rahasiamu. ah, siapa yang kiranya menggantikanku?"

lalu aku menukas lembut, "harapan bahagia kan mengisi ruang kosong yang kau tinggalkan. aku tak ingin selamanya ruangan ini berwarna kelabu, pucat dan gelap. musim panas nan cerah telah tiba dan aku ingin ruang yang lebih berseri. aku lelah...terlalu lelah dan begitu mahal biaya perawatanmu. tak usah kau khawatir, bahagia juga akan membersihkan mataku dengan air mata hasil kerjanya...mungkin akan sedikit berbeda tapi telah kulihat bagaimana air mata bahagia tak hanya membersihkan begitu banyak bola mata di dunia-ia juga mencerahkan binar mata begitu banyak manusia. aku iri...aku ingin memiliki mata yang bisa berpendar secerah itu, yang kilaunya sanggup membuat bintang surut karena tk percaya diri. aku lelah menjadi pahit, menjadi sinis dan menutup terlalu banyak rahasia yang begitu memicis hati....aku tak ingin hanya menjadi gumpalan awan mendung dan gerimis sore yang membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri meski telah berpayung, aku bosan menjadi nimbus badai dan deras hujan yang menyusahkan begitu banyak orang. aku ingin menjadi matahari pagi yang menghangatkan mimpi-mimpi kalau kau terbangun, aku ingin menjadi bulan yang meneduhkan mimpi-mimpi yang membara...aku ingin menerangi dunia sepanjang hari..."

duka tercengang dan tertunduk...aku memeluknya singkat...,"terima kasih atas segala pelajaran yang pernah kau beri selama bersamaku...mengenalmu membuatku sekarang tahu, tanpamu aku takkan pernah menginginkan bahagia dan hidup yang lebih berwarna...aku tak ingin meminta maaf bila aku kini lebih memilih hidup bersama bahagia. semua orang berhak untuk bahagia...mungkin, kau juga..."

-untuk kamu dan kamu dan kalian yang telah lama bersedih...mari belajar bahagia bersamaku-

SETELAH TELAH

telah kita jelajahi ruang rasa, dari garis terbit matahari hingga sudut kelam dimana ia kelak tenggelam. pada subuh yang membiarkan malam meluruh, pada terik siang yang membuat hari panas terpanggang dan pada malam yang menyamarkan semua mimpi dalam hitam.
pernah pula kita telusuri jejak-jejak degupan cepat di dada, pada sepanjang biru debur laut dimana pulau-pulau terbaring telungkup diatasnya..juga pada sepanjang naungan biru langit yang menudungi batu-batu yang bersemadi menjadi candi, pada sepanjang hijau-hijau pohon yang tampak berlarian di kanan kiri kita. pada gunung yang memelototi kita yang berlarian di bawah kakinya...


sudah lelah kita cari mengapa hati menjadi begitu tak menentu, bertanya pada setiap ceruk mangkuk-mangkuk, pada setiap keramaian di tengah kesunyian, pada setiap kesunyian di tengah keramaian pada setiap ketuk nada yang bersenandung dari balik bibir yang tetap terkatup.

kita telah pergi dan kembali, kita telah memenangi dan tertaklukkan, kita telah terbahak dan pernah tersedak, kita telah menangis dan ditangisi, kita telah menghancurkan dunia dengan kata-kata penuh murka yang tak pernah kita sangka kita punya, kita telah bangun puing-puingnya menjadi sebuah istana mungil yang kita tinggali bersama, kita telah menjadi binatang dan menjelma kembali menjadi manusia yang lebih sempurna...

tapi masih saja belum kutemukan jawabnya, kemana kelak semua ini akan bermuara? samudera raya atau mati tercabik di mulut buaya?

samedi 23 juin 2007

KIDUNG SANG CAMAR


Di dermaga ini, saya adalah seekor burung camar....*

terbang jauh dari tanah dimana laut tak lagi biru dan bergandeng tangan di tepi pantai tak lagi berjalan diatas pasir, melainkan tumpukan sampah berlendir.

saya menukik dari langit yang tak lagi bersemu biru ataupun ungu. hitam asap dan jelaga telah meranggaskan bahagia kepakan sayap putihku yang kini mulai kelabu...

Di dermaga ini, saya hinggap sejenak.
Melepas segala lelah dari semua resah gelisah yang selalu singgah.
Hingga parau suaraku teriakkan segala sumpah serapah terhadap mereka yang telah membuat air mata merah darahku tertumpah.
Luapkan amarah pada mereka yang telah merebut tanahku yang subur memerah, yang telah hanguskan pohon-pohon di hutanku yang tak lagi sisakan kuncup bunga merekah, yang telah hancurkan mimpi-mimpi yang dibangun dengan tetesan keringat air mata dan darah...

Saya cuma seekor burung camar yang marah dan lelah....

(*disadur dari kalimat pembuka Saman, karya Ayu Utami)

mardi 19 juin 2007

KARAWACI, 1 JUNI 2007

Kami mengendap perlahan mengira mendaki tangga dunia. Indahkah suaraku hai Hawa-ku? Indahkah suara yang akan segera berlari menyusuri udara, sampaikan segala pencerahan dari tanah dimana matahari biasa terbenam, pada putra-putri bangsa? Jantungku berdebar cepat, Hawa-ku...aku takut tak cukup lantang untuk membangunkan mimpi kosong seisi negeri.

Ah, janganlah kau khawatir Adam-ku...terimalah kenyataan bahwa lantang mimpi yang kau teriakkan hari ini, akan baru terdengar kelak belasan hingga puluhan tahun nanti. Biarlah saat ini, aku saja yang menyimpan seru mimpi-mimpimu dalam ceruk sebentuk gendang dalam telingaku. Seperti yang sudah-sudah, aku menyimpan aman semua kalimat tawa luka perih letihmu dalam telinga dan hatiku, Adam-ku.

Aku lelaki yang bermimpi melukis langit malam dengan warna yang cerah dan menghijau daunkan danau yang hitam galau. Aku adalah lelaki yang akan membuka pintu-pintu cakrawala agar menerangi dunia. Aku adalah lelaki yang melebur dalam dingin salju, panas tropika. Aku adalah ia yang gugur bersama daun-daun merah keemasan dan terlahir kembali bersama mekarnya kuncup-kuncup cinta. Sayapku selalu mengepak, selalu siap melesat terbang. Jangan kau tunggu aku, Hawa-ku...kita akan berpisah segera setelah putri penjajah dari tanah yang paling datar datang menjemputku. Genggamku hanyalah sementara, dalam hidupku tak pernah ada kata selamanya. Buang saja, bakar semua ingatanmu akan hari ini. Jangan pernah kau coba pahami aku yang terbiasa sendiri. Surga ini dulu hanya untukku, sebelum ada kamu...si penggoda yang menyelingkat langkah surgawiku. Rindu dendamku yang dicipta Tuhan dari tulang rusuk rapuhku sendiri.

Jum’at ini awal Juni, Adam-ku. Tepat dua tahun yang lalu pertama kalinya kupetik buah mangga penuh vitamin cinta di taman lantai tiga. Ironis sekali bila kini aku malah berada bersamamu di taman Getsemani ini dan tak kujumpai mangga melainkan buah khuldi. Adam-ku,ingatkah kau sabda-Nya agar kita jauhi pengetahuan khuldi? Tak kuduga engkaulah yang Ia maksud. Begitulah kamu selalu, Adam-ku...manusia setengah buah khuldi. Menarik, menggoda dan menggelincirkan manusia dari surga-Nya. Kau gelincirkan aku dari lurus jalan hidupku. Kau gelincirkan semua kitab yang pernah dikenal manusia dengan berkata akulah yang menggodamu dan menjungkirkanmu dari sejuknya nirwana. Mereka tak tahu, Adam-ku...tapi aku, kau dan Tuhan kita tahu kejujuran di balik bagaimana bermulanya segala pertumpahan liur tawa, darah, keringat dan airmata dunia.

What a wonderful world, Hawa-ku! Kemarilah, Fly me to the moon dan akan kutunjukkan padamu betapa indahnya dunia meski belum genap lima puluh kali kita berkencan. Katakanlah padaku bahwa kau masih mengingat semuanya dan bahkan masih seperti biasa mencatat semua sejarah kita dalam suhuf-suhuf hatimu. Jangan biarkan cintamu terbang bersama hitam emisi dari knalpot bis yang kita tumpangi atau menguap bersama jelaga asap kereta yang akhirnya berangkat tanpa kita. Buanglah kenanganmu terhadapku, tapi jangan pernah kau buang cintamu kepadaku, hai Hawa-ku.

I’d prefer to have a quiet world now, Adam-ku. Hening. Bening. so peaceful so quiet...shhhhh....Berpikir jernih. Kembali pada dunia ketika aku masih menjadi rusuk rapuhmu. Segalanya terasa lebih tenang dan bahagia ketika aku masih menjadi lengkung putih rapuh yang melindungi hatimu yang juga rapuh, ketika aku belum menjelma nyata dan berdiri berhadapan denganmu...ketika aku masih berada dalam tubuhmu, menyangga hidupmu. Mungkin kau tak sadar, diam-diam rusuk memperhatikan dengan seksama apa yang dirasa oleh detak hati yang dijaganya. Ah, Adam-ku kenapa masih saja kau terkejut dengan pengetahuanku atas dirimu? Lupakah engkau bahwa kita adalah satu dan selamanya akan begitu...

(oleh-oleh terpukau tertibnya Lippo Karawaci, 1 Juni 2007)

lundi 12 mars 2007

CERITA TENTANG HUJAN

tak kunjung ketemukan jawab,
mengapa kini langit selalu cemberut dan menangis meraung setiap senja akan tiba. dalam marahnya ia lemparkan semua beban ke tembok awan dan sebabkan retak-retak cahaya yang menggelegar.

aku tak tahu bagaimana caranya bertanya, bukankah musim kesedihan seharusnya telah berlalu?
maka aku cuma bisa duduk disebelahnya, dan berdiam menyaksikan tangisnya...

"sshhh....tidak apa-apa jika kau memang ingin menangis langitku. kan kutadah airmatamu dan basuhkan perih luka itu padaku juga"

hujan deras beberapa hari belakangan ini

3 EPISODE - 2.1: SURAT UNTUK LELAKIKU

Lelakiku tercinta,
Surat ini kutulis dalam kelam malam di sudut Jakarta yang belakangan ini makin terasa panas, sumpek, menyengat dan menyesakkan. Sebagian Jakarta mungkin mulai terlelap mendekap senyap, sebagian yang lain mungkin baru mulai merangkak mendaki kehidupan. Di tempatku memikirkan dirimu, bulan kelinci bulat sempurna merah jambu tersipu malu dibalik awan kelabu.

Apakah yang sedang kamu lakukan sekarang Lelakiku? Apakah kamu tengah menikmati secangkir cappuccino hangat, seperti yang tengah mengepul di sebelah monitor komputerku? Apakah kamu tengah bersepeda menyusuri tepian kali atau mengendara kereta membelah jangkungnya kota? Apakah kamu sedang berada di suatu tempat entah dimana di balik bumi menatap senja, memandang cakram merah nanar perlahan tenggelam menjadi malam? Kutulis surat ini perlahan-lahan Lelakiku, seolah bukan tangan yang bergerak diatas kertas ini, melainkan hati yang mengungkapkan dirinya ke dalam tinta, menyatakan maksud setuntas-tuntasnya, langsung membentuk deretan aksara yang berusaha merengkuh dirimu , nun entah di ufuk yang mana.

Malam masih saja kelam dan bulan merah jambu bulat sempurna bagai hendak melubangi langit hitam, awan bagai iri menyelubungi lembut sinarnya, begitu rupa seolah bulan mulai mengkerut dan menjauh. Tapi apakah semua itu masih penting sekarang ini, Lelakiku? Bulan yang mulai lenyap dilalap awan gelap tidaklah lebih penting dari begitu banyak hal yang terjadi hari ini – kupu-kupu yang baru saja moksa dari kepompong setelah tapa bratanya, anak-anak kecil yang mengamen di perempatan Lebak Bulus dan beradu mulut dengan supir mikrolet yang tadi kutumpangi, lumpur panas Lapindo yang mengaramkan lebih banyak lagi kehidupan di Sidoarjo, Tommy Soeharto yang mungkin mengira segala dosa dan nista akan segera nihil setelah umrah, burung besi putih biru yang baru saja mendarat dari kembara panjangnya, seorang muridku mengatakan “how does it feel to be in love,miss?”

Aku tahu, aku bisa saja menelepon kamu Lelakiku dan kita akan bicara panjang lebar mengenai berbagai hal dan perasaan yang kalah penting dari headline dan isi harian Media Indonesia atau Kompas, mengalir begitu saja sampai pulsa telepon genggamku habis. Begitu lama, sebisanya, seperti banyak kali yang selalu terjadi pada banyak malam sebelumnya.

Tapi, kali ini, biarkanlah aku menuliskan surat ini untukmu, demi sesuatu yang barangkali bisa abadi. Siapa tahu? Boleh saja kan berharap segala sesuatu yang paling kecil, paling sepele, paling tidak penting, tapi mungkin indah bagi kita berdua, bisa tetap tinggal abadi? Seperti ketika kita memandangi bulan yang begitu indah dan tak akan terulang lagi datang dalam pesona yang sama namun masih tetap tinggal indah dalam kenangan kita.

Begitulah memang kita bertemu Lelakiku, dalam sebuah ruang semesta nan maya, dimana waktu tak terlacak dan deretan nama dan profil-profil manusia bisa begitu saja terlupakan, dimana kita hanya bisa saling memandang dalam diam, tak selalu ketemu, tak selalu bicara dan tak selalu dalam keadaan bahagia, tapi bisa saling merasakan keberadaan masing-masing dan dengan itu toh kita bisa membangun dunia kita sendiri. Dari kelam ke kelam malam kita arungi waktu, Lelakiku dengan gumam dan dendang perlahan-lahan karena ruang dan waktu bukan hanya milik kita dan setiap orang selalu merasa memiliki kepentingan yang sama besarnya. Nama-nama berebutan mengejar kebahagiaannya sendiri, demikian pula kita berdua. Barangkali memang kepentingan dan kebahagiaannya jauh lebih besar dari kepentingan dan kebahagiaan kita. Bisakah diterima bahwa perasaan kita begitu penting untuk sebuah kota yang gemerlapan bermandi cahaya hingga bulanpun surut mundur karena merasa tiada arti? Kadang aku merasa bersalah karena gelisah tak dapat tidur saking kangennya padamu, Lelakiku, sementara di luar sana begitu banyak orang gelisah tak dapat tidur karena rumah mereka hancur dilantak gempa, diterjang tsunami atau digempur lumpur.

Setiap kali usai membaca surat-surat elektronikmu atau setelah kita berbicara berlama-lama di telepon, aku sering berkata diam-diam dalam hati, “Betapa waktu begitu singkat, betapa perasaan begitu nisbi.” Waktu memang tak akan pernah cukup Lelakiku, tak akan pernah cukup untuk begitu banyak keinginan dalam hidup kita yang tampaknya begitu mustahil untuk terpenuhi, seperti begitu banyak cita-cita dan fantasi tersembunyi kita yang barangkali akan tetap tinggal tersembunyi selama-lamanya. Barangkali aku hanya harus merasa semua ini sudah cukup dan bersyukur karena sempat mengalaminya. Berterimakasih pada Tuhan karena kita sempat mengalami saat-saat indah yang pasti akan terukir manis dalam benak, hingga membangkitkan haru ketika mengenangnya. Seperti perasaan kita ketika memandangi keindahan pantulan purnama dipermukaan danau yang tenang, yang toh tak bisa tetap tinggal disana.

Lelakiku tercinta,
Barangkali kita memang tidak usah terlalu peduli dengan semua ini. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk maju terus dengan hidupku lalu melupakan cintaku padamu yang mulai kau biarkan berdebu. Memang banyak hal tidak harus selalu kita mengerti Lelakiku. Ada saatnya kita tidak harus mengerti apa-apa, tidak perlu memaklumi apa-apa dan tidak perlu menyesali apa-apa, kecuali berusaha mencoba bergerak, ikhlas dengan apapun hasilnya dan tegar menjalani apa yang memang tidak lagi dapat diubah.

Tapi, sudahlah Lelakiku kita kenang saja waktu dalam secangkir cappucino di sebelah monitor komputer kita yang akan segera mendingin sebelum dini hari tiba. Bukankah selama ini kita sudah cukup bahagia, meskipun hanya saling bertanya dan bersapa dari jauh? Melepas jenuh dari segala berita tentang dunia dan teman-teman yang selalu mengeluh dan lelah mengejar uang yang penuh darah, airmata juga peluh. Tidakkah kau pikir hidup kita begitu fana, Lelakiku? Sepotong riwayat diantara jutaan tahun semesta, dua orang di tengah belantara peristiwa. Apakah kita masih memiliki arti, Lelakiku, dalam ukuran tahun cahaya?

Kadang aku bertanya-tanya, benarkah semua ini ada maknanya? Sefolder penuh surat elektronik, chat- percakapan tanpa suara, tagihan telepon yang membuatku menggaruk kepala dan begitu banyak percakapan yang kadang-kadang terputus dan terganggu. Beberapa keping puzzle masih belum terpasang. Kisah ini bagai tak pernah utuh, tak pernah tuntas dan sulit menjadi lengkap. Namun siapa yang menuntut semua ini harus utuh dan sempurna? Aku sudah lama mafhum semua ini mungkin tak akan menjadi apa-apa dan barangkali memang tidak perlu menjadi apa-apa. Biarkan saja semua seperti ini, apa adanya...

Saat aku memandang keluar dari jendela bis yang melaju dan melihat begitu banyak manusia menyemut lalu lalang, kadang aku berharap dapat menemukan kamu diantara kesibukan kota. Kadang aku berharap terlahir menjadi elang emas yang sanggup menempuh jarak ribuan mil agar dapat mengetuk pintu kamarmu nun di belahan bumi penuh tulip oranye. Tapi nyatanya aku masih disini, masih saja mengumpulkan surat-suratmu, membacanya berulang-ulang dan menulisimu berlembar-lembar surat. Kalaulah aku dapat menuliskan surat ini langsung ke dalam hatimu, Lelakiku, aku akan melakukannya. Seperti awan mengubah dirinya menjadi hujan agar bisa menyatu dan menghijaukan daratan. Tapi aku tak bisa melakukannya Lelakiku, aku hanya bisa menulis surat seperti sekarang ini, surat seseorang yang mungkin agak kacau pikirannya, kurang waras, tidak jernih dan terlalu banyak mengumbar perasaan. Maafkanlah semua ini Lelakiku, barangkali aku memang tidak terlahir untuk membahagiakan semua orang, bahkan mungkin juga padamu yang kucintai.

Lelakiku tercinta, masih selalu tercinta dan akan selalu tercinta,
Masihkah kau bertanya-tanya sendiri, apa yang membuatku sedemikian jatuh cinta padamu? Apakah kau masih ragu bahwa mekanisme perasaan dari tiada menjadi debar di dada lalu diterima sebagai cinta, bisa tumbuh dari sesuatu yang maya? Malam makin gelap di luar sana, sepertinya awan telah berhasil membuat bulan purnama terlelap dan aku tiba-tiba merasa tua.
Jangan tertawakan suratku ini Lelakiku, ini bukan keinginanku sendiri. Aku hanya mencoba jujur menuliskan surat yang menerjemahkan diriku kepadamu. Cahaya rembulan masih tegar menerangi malam, tapi tak juga mampu mengusir suasana hatiku yang lagi-lagi menjadi rawan. Aku menatap telepon genggam yang tergeletak tak berdaya dihadapanku. Haruskah kutelepon dirimu dan membiarkan surat ini lagi-lagi tak terselesaikan bagai puluhan surat tak selesai lainnya untukmu yang teronggok begitu saja dalam kotak warna-warni di lemari pojokan kamar?

Aku sudah lelah, Lelakiku, lelah memanjakan perasaan. Barangkali memang sudah waktunya aku menjadi kejam kepada diriku sendiri, membiarkan perasaanku menggelepar-gelepar dan mencoba hidup bersama dengan kenyataan. Maka aku tetap disini, meneruskan menulis surat kepadamu karena entah mengapa memang kamu yang selalu, selalu dan selalu kukenang dan kucemaskan. Ah, sedang apakah kamu disana Lelakiku? Apakah kamu kehujanan seperti aku pagi ini? Apakah kau tengah berpayung biru berduaan dengan seseorang yang lain? Apakah kamu juga memikirkanku, memikirkan kenangan tertawa bersama dibawah pancuran langit malam itu? Atau tengah tertawa bahagia dan berbunga-bunga karena perempuan lain yang berada di dekatmu setiap saat dan tak terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer dan waktu perjalanan lima belas jam, yang bisa kamu ajak berbicara setiap saat bukan hanya saat ada sedikit pulsa, yang seringkali memutus tiba-tiba pembicaraan kita.

Beginilah keadaanku sekarang Lelakiku. Ceria dan menyenangkan dimana-mana, tapi mulai sering kembali merasa lelah dan penuh rindu padamu saat bersendirian di malam hari. Mungkin seharusnya aku mengundurkan diri dari semua perasaan ini, menyembunyikan diri di balik keheningan dan kelak kembali menghampirimu saat gelombang perasaan ini sudah mereda.

Ah, kenapa aku harus jatuh cinta padamu hai Lelakiku ? Kadang aku benci jatuh cinta, karena cinta bisa begitu menyiksa tanpa ada korban, keras tanpa ada kekerasan dan kejam tanpa perlu ada kekejaman dan bahkan bisa begitu menghancurkan tanpa harus ada penindasan.

Inilah suratku Lelakiku, surat seseorang yang menyandarkan cintanya pada kenangan sebagaimana adanya dan kenangan itu adalah kamu. Kamu dan aku mungkin akan beterbangan ke berbagai pojok dunia dan menjelajahi banyak tempat, menunggangi waktu namun sesungguhnya kamu dan aku tidak akan pernah pergi kemana-mana, Lelakiku. Percayalah, kamu dan aku akan tetap tinggal disini, saling mengenang ketika malam tiba, selamanya, karena aku telah menulis surat tentang kita, tentang segala sesuatu yang pernah terjadi di masa kita, saat kita pernah bersama membuat beberapa kenangan sederhana dan mencoba mengabadikan segala kenangan yang terlintas disini, dalam deretan aksara yang membentuk kata-kata dan makna tercetak, yang tidak akan pernah hilang lagi untuk selamanya.

dimanche 11 mars 2007

3 EPISODE-episode 1

sebuah fiksi yang mungkin terasa nyata

1
Lelaki itu menutup halaman terakhir buku tebal bersampul coklat yang baru saja selesai ia baca. Dengan menghela nafas panjang ia menerawang jauh ke luar jendela pesawatnya. Langit malam bagai tirai pertunjukan raksasa dengan kelap-kelip pijar bintang dan purnama bulat sempurna bak lampu sorot yang menyinari panggung drama kehidupan. Lelaki itu pikirnya tertuju pada seorang perempuan yang menuliskan kenangan-kenangan mereka pada punggung-punggung 200 helai kertas concord 80 gram. Tak habis pikirnya mengurai musabab ketekunan gadis itu mengukut satu demi satu kenangan mereka dan membariskan mereka dalam halaman-halaman krem, coklat dan putih itu. Mengapa ia melakukannya?

2
Perempuan itu terhenyak di kursi terasnya. Lelaki yang duduk di seberangnya asyik menyeruput teh hangat sambil sibuk menanyakan arti beberapa kalimat bahasa Inggris yang dalam sms yang dulu pernah dikirim perempuan itu padanya. Perempuan itu memandangi genggamannya sendiri pada buku agenda mungil milik lelaki itu yang baru saja diberikan padanya . Dilihatnya larik-larik sapa dalam bahasa Inggris sederhana yang pernah diketiknya dulu, kini tersalin rapi dalam tinta biru dan hitam yang kadang sedikit belobor. Tak habis pikirnya mengurai musabab ketekunan lelaki itu mengukut satu demi satu remah kata yang pernah dilontarkannya dan membariskan mereka dalam putih kertas bergaris-garis donker buku agenda miliknya. Mengapa ia melakukannya?

3
Lelaki itu merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Dengan gemetar, setelah menengok kanan-kiri, diambil dan dibukanya buku tebal bersampul coklat itu. Disentuhnya dengan syahdu kata KITA bersepuh merah tembaga pada sampulnya. Dunianya seakan runtuh ketika ditemukannya sebuah kisah tentang perempuan yang selalu menyimpan sendu rindu dalam sebuah ruang besar dalam hatinya, percakapan-percakapan dan pertukaran sapa dan asa dunia maya yang kini tersusun rapi pada punggung-punggung 200 helai kertas concord 80 gram. Tak habis pikirnya mengurai musabab ketekunan gadis itu mengukut satu demi satu kenangan bersama lelaki yang bukan dirinya, lalu bariskan mereka dalam halaman-halaman krem, coklat dan putih itu. Ah...tak tahukah ia bahwa tak ada lagi lelaki lain yang bisa mencintainya sedalam aku mencintainya...tidak juga lelaki yang padanya buku tebal bersampul coklat itu akan diberikan. Mengapa ia melakukannya?

BIBIT

bibit bunga yang kau beri,
sudah kutanam di taman hatiku.
kuberi pupuk dan air sesuai petunjukmu.
sudah pula kubuang segala ulat dan benalu,
kuobati segala fungi yang mencoba membuatku mati

bibit bunga yang kau beri,
kini telah tumbuh indah di taman hatiku.
merah jambu semburat bersemu
tanpa sadar mengundang kumbang lain datang bertamu.
tapi sudah kukatakan pada mereka, indahku hanya untukmu...

bibit bunga yang kau beri,
mengapa kini malah kau tinggal pergi?

-for my dear mango...i love you goodbye-

vendredi 9 mars 2007

MARAH

Benarkah Tuhan, yang mengetapel burung besi hingga jatuh lantak terbelah dua di belahan bumi setelah sebelumnya mengaramkan ratusan harapan ke dalam riak gelombang laut Jawa, Banda atau Sumatera yang kini kian terasa asin oleh air mata yang terus menerus mengalir dari coklat hitamnya air yang mengurung Jakarta dan dari deras hujan yang menggelontorkan merah tanah di ranah Manggarai?

Apakah semata Tuhan, yang menyulutkan api yang membakar rumah-rumah dan kapal rapuh berisi mimpi-mimpi diatas bumi yang kian terasa panas oleh amarah yang terus menerus bergolak bersama tunggul-tunggul pohon yang terbakar di botak hutan Kalimantan dan lumpur yang menggempur ribuan dapur?

Meski susah, dapatkah kau usahakan membuang prasangka dari picik sempit pikirmu hai tuan-tuan yang mengira diri maha mulia? bahagia tak terukur dari gelak tawa, tertunduk diam bukan berarti tak ada apa-apa. Nuranimu itu, coba kau ingat lagi dulu kau buang dimana?

mardi 13 février 2007

DUA MUTIARA

Mutiara 1

Bulat indah sempurna kilap bentukmu...Pinctada maxima yang manja, budidaya telah berusaha membentuk segala kebaikan dalam dirimu dengan memasukkan segala unsur dan preparat yang paling mungkin. Agar setelah ini kau siap dipanen dan segera menjadi rebutan para perempuan yang menginginkanmu menghiasi leher-leher jenjang mereka. Menjadi rebutan mereka yang mengira indahmu semata yang moksa abadi...tanpa mereka pernah tahu sempurnamu palsu. Bakarlah, gigitlah halusmu...segera akan mereka temukan, dibalik segala anggunmu, kau jenis yang mudah leleh oleh panasnya hidup dan mudah retak terbelah oleh tekanan keadaan. Pengrajin telah menggosok kuat dirimu, agar kilaumu menjerat banyak hati untuk melakukan apa saja dengan bayaran berapa saja untuk memilikimu...tanpa tahu semua itu tak akan pernah sepadan.

Mutiara 2

Tak sempurna bulat indah kilap bentukmu. Kusam sedikit muram tertutuplah anggunmu. Dari dasar lautan yang dalam, sempurnamu dipanen. Tak ada campur tangan yang membentuk keindahan dan kemegahanmu kecuali tangan-Nya. Kau indah, karena begitulah Tuhan menciptakanmu. Tak mudah leleh oleh panasnya kehidupan, tak mudah lupa atas akar dirimu. Gigitlah bulatnya yang tak sempurna, akan kau rasakan riwayat pasir dan ganas laut yang membesarkanmu. Meski tak ada mata memandang, meski tak ada hati menginginkan...mutiara tetaplah mutiara sejati. Megah,kuat dan indah meski tak berkilap secemerlang yang palsu. Maafkan mata hati yang tak mampu melihat keindahanmu dan kesejatianmu selama ini. Ternyata selama ini aku cuma perempuan biasa yang menginginkan keindahan semu menghiasi leherku...aku memang tak padan dengan kesejatianmu.

Untuk Mangifera Indica...bagaimana mata batinku bisa begitu silau, silap dan buta?

lundi 12 février 2007

DUA

Perempuan tersedu sendirian.
Lambat mengepak semua kenangan,
perlahan melipat semua angan.
Dibungkusnya semua kesalahpahaman..
Berkata seperti penuh harapan:
Andai aku bisa membaca keadaan.

Disusunnya rapi semua sedu sedan,
tawa harapan dan tangis kehilangan
berjejal dalam koper yang terbeban.
Dibuangnya segulung rasa kasihan
yang diam-diam menyelip di pojokan...

===

Lelaki termenung sendirian.
Tercenung melihat bongkahan kenangan,
yang tiba-tiba berserakan porak-porandakan pikiran.
Berkata seperti penuh penyesalan:
Andai aku bisa membaca keadaan.

Dilihatnya lagi segala tawa dan sedu sedan
dan kalimat-kalimat yang pernah dipertukarkan nyaman
tersusun dalam lembaran-lembaran catatan yang sungguh edan.
Dikenangnya lagi setiap detik rasa nyaman,
sebelum semuanya hilang tersedot bayangan.

dimanche 14 janvier 2007

lullaby untuk Om Kris

Kami lepas kepergianmu dengan do'a dan rindu,

Tidurlah nyenyak beralas sejuk tanah yang dulu melahirkanmu.

Mimpilah yang indah, tentang hidup indah yang kini kau tinggalkan,

tentang hidup abadi yang kini kau jalani.

Sesekali singgahlah sejenak dalam mimpi menjelang pagi kami,

obati kangen rindu yang selalu memorak morandakan hati semenjak detik engkau pergi.

Detik dimana tiada lagi sahabat berbagi,

Tiada lagi sahabat bernyanyi,

Tiada lagi sahabat bermimpi...

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raajiun. Dust to dust, ashes to ashes. Teruntuk pamanda HBK,28/9/51-10/1/07.

CIPULARANG SUNSET

Apakah aku yang terlalu sentimentil ataukah memang belakangan langit senja selalu tampak seindah ini?

Sendiri memandangi siluet bukit kebun teh dan hutan jati berbingkai langit luas nan jernih warna permen, jingga yang memerah, kuning kunyit yang membiru dari balik jendela bis yang tengah melaju. Wajarkah bila kumerasa haru? Haru menyaksikan keindahan yang cuma terjadi sekali saja dan lekas berlalu. Tahu-tahu biru langit menjadi merah lalu ungu...Subhanallah...

Andai aku bisa memindahkan kenangan matahari terbenam dari kedua kamera digital di kanan kiri pangkal hidungku...kalian pasti setuju, kali ini aku tidak sentimentil. Senja kemarin memang amat indah dan megah.

-oleh-oleh dari sunset di Cisomang, maiden voyage lewat tol Cipularang. Om Kris's funeral-