vendredi 11 avril 2008

4/4=30. cindera kasih untuk MZR

Ramai-ramai kami mengerubungi sang juru cerita itu. Masing-masing kami mengusulkan tema cerita yang ingin kami dengar. Seseorang mengusulkan kisah bak dongeng Cinderella, sementara yang lain menginginkan kisah epik dan peperangan, yang lain lagi menginginkan kisah tragikomik yang sedih dan ironis. Sepasang pemirsa yang telah tua usia meminta sang juru cerita mengisahkan cerita-cerita religi. Seorang petualang muda menginginkan kisah pencarian harta karun yang mendebarkan.

Semua begitu riuh hingga salah seorang dari kami berkata, “Ceritakan pada kami sebuah kisah yang inspiratif, tentang seseorang yang dapat menyalakan lentera dalam hati begitu banyak orang, yang membuat kami percaya bahwa hidup tidaklah melulu sedih dan berat.” Kami lantas melihat sang juru cerita itu terkejut dalam senyum, “Baiklah. Akan kuceritakan padamu sebuah kisah mengenai seorang lelaki yang mengabdikan dirinya mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak. Mudah-mudahan kalian dapat mengambil banyak inspirasi darinya. Ini bukanlah kisah petualangan mencari harta karun, keimanan, kebahagiaan ataupun kesedihan. Ini adalah kisah mengenai kesemuanya. Ini adalah kisah mengenai seseoraang yang berkelana dan berusaha menyelami dunia jiwa-jiwa manusia”, demikian sang juru cerita itu memulai kisahnya pada sekumpulan penyimak yang duduk di lantai mengelilinginya. Termasuk aku....

Katakan padaku, bagaimana mungkin aku melupakannya? Sejak ia menampakkan diri dari balik kubikel di ruangan itu dan menyapaku dengan senyumnya yang resmi, aku tahu orang yang ada di depanku itu akan menjadi salah satu orang yang amat penting dalam hidupku. Aku merasakan medan energi yang cukup besar memancar dari dalam dirinya.

Ah, kalian seharusnya bertemu dan berbincang dengannya juga, sehingga kalian akan tahu apa yang kumaksudkan dengan pancaran energi tersebut. Ia bukanlah sosok yang tampak kokoh kemasannya. Sewaktu itu aku tak habis-habis memandanginya dengan penuh rasa ingin tahu, bagaimana mungkin tubuh kecil itu mampu menampung begitu banyak rahasia, luka dan nestapa manusia?

Aku memandangi jari-jarinya yang kerap bertaut di depan dagu atau bibirnya setiap kali ia memikirkan sesuatu, seolah mereka membentuk barikade jemari untuk menghalangi siapapun membaca pikirannya yang sederhana sekaligus rumit. Rumit namun juga sebenarnya cukup sederhana. Aku memandangi matanya dan dalam hati bertanya-tanya, seberapa banyak mata itu telah menyaksikan derita, air mata kehancuran dan dampaknya terhadap jiwa seseorang? Aku memandangi kacamatanya dan tetap bertanya-tanya, refleksi macam apakah yang terpantul kembali ke matanya? Apakah yang ia lihat dari matanya sendiri; adakah ia mencerminkan apa yang ia rasakan dalam hatinya?

Aku memandangi telinganya, bertanya-tanya apakah ia menyimakku dan tak hanya sekedar mendengar? Telinga yang gelambirnya sedikit menekuk, seolah memang didesain oleh Tuhan untuk menadah keluh kesah curahan hati banyak jiwa. Aku juga memandangi bibir tipis yang sedang tersenyum lembut padaku sambil menanyakan anteseden-masalahku. Seberapa banyak kebijaksanaan dan kebajikan terlontarkan darinya untuk membangun kembali harapan dan kehidupan begitu banyak orang?

Ia tertawa meminta maaf atas kemungkinan telah membuatku mengelompokkannya sebagai sosok yang relijius karena baju koko coklat muda yang digunakannya dan aku akhirnya juga meminta maaf padanya karena mungkin telah kurang sopan menggunakan sandal pada pertemuan pertama kami. Kalian tahu? Pada waktu itu aku sebenarnya sedemikian gugup hingga menjadi gagap. Tidaklah mudah untuk membangun sebuah percakapan yang hangat dan nyaman dengan seseorang yang asing bagiku, apalagi menceritakan luka-luka batin yang mulai menginfeksi hatiku. Namun toh ia berhasil membuatku bercerita. Sebab itu mereka menyebutnya lelaki yang mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak.

Jangan kau bayangkan sebuah ruangan berkabut dupa dan mewangi kembang setaman saat memasuki ruang kerjanya. Ia bukanlah seorang dukun meski ia cukup handal membaca pikiran orang. Jangan kau bayangkan ia menghunus keris yang meliuk-liuk di udara, mengayun mengiringi rapalan mantra penentram hati. Jikalau ada senjata yang ia gunakan, mereka hanyalah pikiran dan hatinya, beberapa lembar kertas berlogo huruf B yang serupa sebelah sayap kanan seekor kupu-kupu dan sebuah pulpen.

Ia tidak akan duduk bersila menunggumu bercerita sambil berkomat-kamit sendiri, ia akan duduk di kursi putarnya yang besar; dalam ruangannya yang hijau toska dengan strip putih dan lavender pada bagian atasnya. Sebuah lukisan gua akan ikut duduk di sebelah kananmu, sambil mendengarkan keluh kesahmu padanya. Sebuah lukisan lain bergambar kuda-kuda di ujung sebuah jalan yang menyempit juga harus kau persilahkan ikut duduk di hadapan kirimu dan biarkan ia menyaksikanmu mengusap tiap tetes air mata yang tiba-tiba menganak sungai di bulat pipimu setiap kali satu akar borok berhasil kau cungkil keluar.

Satu-satunya hal yang mungkin tak kau suka adalah wangi dan rasa lembab pada ruangan itu, tapi tak mengapa. Kau tak akan sempat mengeluhkan hal-hal semacam itu saat yang kau inginkan hanyalah membuat borok-borok dalam hatimu segera kering dan mengelupas, agar kulit baru di hatimu dapat segera tumbuh. Kita hanya memiliki satu hati, satu nurani...betapa seharusnya kita senantiasa menjaga kesehatan dan kewarasannya.

Demikianlah, selanjutnya kau akan melihatnya sibuk bagai seorang ahli forensik mengotopsi semua bagan perasaan dan mengurai anatomi traumamu dengan tanggap dan cekatan. Ia tidak akan menggunakan satu scalpel pun untuk membuka thorax-mu. Tidak ada foto X-Ray untuk membantunya memastikan letak luka batinmu, ia hanya menggunakan pikiran, perasaan dan intuisinya semata untuk menerawang jauh ke dalam hatimu dan memastikan pola pikirmu.

Malu-malu aku mengakui maksud kedatanganku padanya, yaitu untuk meminta bantuannya merekatkan lagi serpihan-serpihan diriku yang telah beberapa lama hancur setelah seseorang melontarkannya ke dalam sebuah tempat sampah kuning di tengah keramaian tawa kanak-kanak dan canda para pengasuhnya. Malu-malu pula aku mengakui gelisah dan amarah terpendamku yang membuatku penuh air mata dan sulit tidur berhari-hari. Sebenarnya aku amat enggan mengakui kalau seseorang telah berhasil membuatku menjadi begitu nelangsa dan gusar dengan diriku sendiri. Seorang kawan baik yang prihatin sekaligus bosan dengan keluh kesah risauku berkata, “Sebaiknya kau segera pergi padanya... sang lelaki yang mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak itu pasti dapat membantumu bangkit dan kembali berjalan dengan ceria seperti sebelumnya. Ia telah dikenal sebagai seorang yang mumpuni. Cobalah! Kali ini, cobalah untuk berani mencoba.” Dan benarlah, ia tak hanya menghilangkan rasa skeptis dan sinisku, tetapi juga membukakan jalan menuju pintu-pintu menuju kesadaran mental yang lebih baik. Dalam sebuah surat yang kutulis untuk seorang sahabat, setelah berkali-kali mengunjungi sang lelaki yang mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak itu, kini aku dapat berkata dengan penuh keyakinan:

Dengan restuNya dan bantuan seorang kawan baru yang dapat mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak itu, telah kupelajari luka-luka yang lama sudah mengerak di dalam detak jantungku. Aku berhasil, kawan! Juga dengan bantuan mantra dan do'a dari kitab suci yang paling suci dan buku-buku ensiklopedi psikologi, aku telah menjadikannya serum yang mampu mengelotok segala borok, mengelupas segala duka yang menyesakkan napas dan membuat binasa segala rasa putus asa yang telah lama bercokol di dalam dada.

Kuhampiri ia mula-mulanya dan kutanya dengan nada yang paling ramah..,"Tidakkah kau bosan? Bertahun-tahun sudah kau mendekam dalam jiwa dan pikirku yang sempit ini. tidakkah kau ingin pergi? Ruang dalam hatiku ini sudah menjadi terlalu sempit untuk kubagi denganmu, hai luka lara. Maafkan, aku terpaksa mengusirmu...kalau perlu dengan kejam! Sebab penghuni baru penggantimu telah teken kontrak denganku beberapa hari yang lalu"
lalu luka bertanya kepadaku, " Siapa yang kiranya menggantikanku, hai gadis yang selalu mencintaiku? Mengapa kau tiba-tiba bosan padaku? Aku, Sang duka dan kepahitan yang telah menemanimu dengan setia hampir selama hidupmu.

Aku yang telah membersihkan matamu setiap hari dengan air mata kesedihan yang tak kunjung usai, aku yang telah melindungimu dari goda para lelaki dengan tudung tudung kepahitan, aku yang selalu menjagamu dari nyeri di batinmu dengan kunci yang mengatupkan mulutmu agar tak lolos rahasiamu. Katakan, siapa yang kiranya menggantikanku?"
Lalu aku menukas lembut, "Harapan bahagia
kan mengisi ruang kosong yang kau tinggalkan. Aku tak ingin selamanya ruangan ini berwarna kelabu, pucat dan gelap. Musim panas nan cerah telah tiba dan aku ingin ruang yang lebih berseri. Aku lelah...terlalu lelah dan begitu mahal biaya perawatanmu. Hai kesedihan, tak usah kau khawatir, bahagia juga akan membersihkan mataku dengan air mata hasil kerjanya...mungkin akan sedikit berbeda tapi telah kulihat bagaimana air mata bahagia tak hanya membersihkan begitu banyak bola mata di dunia, ia juga mencerahkan binar mata begitu banyak manusia. Aku iri...aku ingin memiliki mata yang bisa berpendar secerah itu, yang kilaunya sanggup membuat bintang surut karena tak percaya diri. Aku lelah menjadi pahit, menjadi sinis dan menutup terlalu banyak rahasia yang begitu memicis hati....Aku tak ingin hanya menjadi gumpalan awan mendung dan gerimis sore yang membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri meski telah berpayung, aku bosan menjadi nimbus badai dan deras hujan yang menyusahkan begitu banyak orang. Aku ingin menjadi matahari pagi yang menghangatkan mimpi-mimpi kalau kau terbangun, aku ingin menjadi bulan yang meneduhkan mimpi-mimpi yang membara. Aku ingin menerangi dunia sepanjang hari..."

Duka tercengang dan tertunduk, aku memeluknya singkat, “Terima kasih atas segala pelajaran yang pernah kau beri selama bersamaku, mengenalmu membuatku sekarang tahu, tanpamu aku takkan pernah menginginkan bahagia dan hidup yang lebih berwarna. Aku tak ingin meminta maaf bila aku kini lebih memilih hidup bersama bahagia. semua orang berhak untuk bahagia.."

Lelaki itu mengajariku bagaimana caranya menjadi bahagia, sebab ternyata aku telah lama lupa caranya. Aku telah lama alpa bahwa hidup di dunia ini memang hanya sekali, namun kehidupan yang lain akan ada lagi. Aku ingat pada suatu malam Jum’at yang gerimis, dilatari suara deru laju bus ia berkata, “Bahagia itu ikhlas. Dan untuk memahami ikhlas, kamu harus mengingat kembali makna Innalillahi Waa Inna Ilaihi Raajiun. Semua yang berasal dari Allah akan kembali lagi kepada Allah. Kita semua ini hanya dititipi segala hal yang sekarang kita kira adalah milik kita. Titipan…bagaimana kamu akan bersikap terhadap barang titipan? Tidakkah kamu merasa harus menjaganya hingga suatu hari nanti saat ia kembali diminta, titipan itu masih utuh dan baik sebagai penanda kamu memang amanah?”

Lelaki itu, tak pernah mengeluarkan banyak kata-kata yang canggih dan berbunga, dengan bahasa yang sederhana saja ia meletakkan kakiku dan mungkin juga berpuluh pasang kaki-kaki lainnya, kembali pada shirath yang lurus itu. Pelan-pelan dan tak pernah terburu-buru. Ah, bukankah begitulah seharusnya ilmu dan kebijaksanaan? Tak peduli sebanyak apapun yang berhasil kau timba dan kau reguk, tidaklah berguna sampai orang lain juga dapat mengambil hikmah darinya. Dan ilmu itu haruslah mudah dipahami dan disebar luaskan. Lelaki itu tidak hanya menjadi fasilitator kesembuhan luka-luka batinku, namun diam-diam aku juga menganggapnya guruku. Guru kami, sebab banyak orang yang mendengarkan kutipan-kutipannya dariku pun merasa terinspirasi.Guruji. Guru spiritual yang amat kuhormati dan kusayangi. Teringat aku, suatu ketika dulu guruku yang lain berkata, seorang guru yang biasa saja, hanya akan terhenti pada penjelasan. Seorang guru yang baik, dia akan berusaha mencontohkan. Tapi seorang guru yang hebat, ia akan menginspirasi. Para pendengarku yang baik, kalian bisa menyimpulkan sendiri guru macam apa ia, jika ia bisa membuatku mengutip banyak kalimat dan pemikirannya.

Ia bernama Muhammad Zulfan Reza. Kurasa bukanlah suatu kebetulan semata, jika lantas banyak orang memanggilnya Eja. Setiap nama mengandung satu do’a harapan dan juga makna. Setiap huruf memiliki nasib dan takdirnya sendiri, begitu juga dengan namanya; Eja. Sebelum kau Iqra, membaca, terlebih dahulu kau harus belajar mengeja. Satu-satu kau eja aksara demi aksara dan kau pahami esensi eksistensi setiap huruf itu, sebelum kau merangkainya menjadi kalimat yang bermakna. Ia ditakdirkan untuk membantu banyak orang mengeja makna kehidupan bagi setiap mereka, mengeja peta dan petunjuk agar bisa selamat kembali pulang ke haribaan-Nya sebagai seorang hamba yang utuh.

Jangan kau salah tanggap menyangkaku memujanya dan menjadikannya seorang santo atau wali. Sama sekali tidak begitu. Ia juga seorang manusia biasa, seorang yang menyimpan ketakterdugaan laut dalam dirinya, ia bisa tampak begitu tenang meskipun sebenarnya ada banyak gejolak yang masih tersimpan dalam pikirannya. Ia adalah lelaki yang selalu meninggalkan jejak keringat perjalanan panjang pencarian diri dan ketakpercayaan dirinya dalam lembar-lembar kartu tarot yang tersingkap untuknya meski kau bisa melihatnya melipat tangan dan menatapmu dengan penuh kepercayaan diri dalam merahnya. Ia adalah laki-laki yang selalu mencoba berpikir dua atau tiga langkah ke depan dan selalu mencoba agar kakinya tetap berada dalam jalur yang lurus. Ia memiliki banyak cinta kasih dalam hatinya, namun ia selalu berusaha agar tidak terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia memilih sebuah jalan berbatu untuk menjadi penyembuh luka-luka di batin manusia, sebab ia begitu tergerak di kedalaman sebuah ayat sabda Ilahi, “Aku bersama orang-orang yang hancur hatinya.” Menyembuhkan dan merekatkan lagi jiwa-jiwa yang luka dan retak adalah caranya mengabarkan rahmat Allah bagi semesta dan seisinya. Tak kupungkiri, pastilah ia juga masih menyimpan cacat dan cela seperti halnya aku dan kamu, tapi sungguh kukatakan padamu…memang tak terlalu banyak orang yang terberkahi keistimewaan untuk menerjemahkan dan mengobati jiwa seperti ia.

Esok ia genap akan berusia 3 dasawarsa. Jika kalian bertemu dengannya, tolonglah kalian sampaikan salam takzimku padanya. Sampaikanlah maafku, yang telah sering diam-diam mencuri ilmu pengetahuan dan kata-katanya untuk memperkaya diriku dan karib kerabat di sekitarku. Katakanlah padanya, aku tak dapat memberikan apapun sebagai sebagai pengganti ilmu-ilmu yang telah kucuri darinya, kecuali do’a tulusku agar ia diberi kesehatan jiwa, raga dan pikiran untuk bisa tetap menjalani hidup yang penuh ikhlas, penuh manfaat dan berkah bagi sesama.

Kukisahkan sedikit yang kutahu mengenai ia, lelaki yang dapat mengobati dan merekatkan lagi jiwa-jiwa yang luka dan retak; guruku; sahabatku; pada kalian semua, dengan harapan agar ia dapat menginspirasi kalian sebagaimana ia telah menginspirasiku, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah ia yang berguna bagi sesamanya. Dan sepenuh-penuhnya hidup adalah hidup yang amar ma’ruf nahi munkar, bermakna dan dijalani ikhlas Lillahi Ta’ala.

(Untuk Eja. Selamat Ulang Tahun yang ke-30. Semoga Allah selalu meridhai jejak langkahmu, memberimu waktu yang manfaat dan mengukir namamu dalam bebatuan di taman surgawi. Do’aku selalu bersamamu)


YAA HABIBI

"maukah kau temani dan bimbing aku berjalan di jalan-Nya menuju-Nya?
aku perlu seseorang sebagai imamku,
seseorang yang paham jalan ini,
seseorang yang mengenal-Nya
dan mencintai-Nya lebih dari kau mencintaiku
atau sesiapapun di dunia ini.
jadi bolehkah aku bermakmum padamu?"

vendredi 18 janvier 2008

REQUIEM SANG DAUN

Angin iseng menghembus daun-daun tertidur siang. Daun yang terkejut langsung terjatuh melayang. Rumput hijau yang tengah menengadah dengan sigap menangkap daun yang masih kaget terguncang.

"Hai angin!Kenapa kau gugurkan ia sontak begitu?"

"Aku hanya ingin menggoda daun yang terlelap dengan cantiknya. Kuning tubuhnya begitu menggemaskanku! Lagipula, aku hanya ingin membuat tidurnya terasa lebih nyaman karena sejukku", balas angin dengan riang.
Daun kuning langsung berkerut seperti bersungut, merajuk manja mengadu pada tanah merah yang mengalas hijau rumput gajah. Tanah tersenyum bijak merengkuh daun yang masih merengut, "Kemarilah hai daun yang rapuh, akan kujaga engkau dengan tubuhku yang gembur."


Namun daun masih saja cemberut, "Aku ingin kembali lagi tertidur bersama keluargaku di pucuk ranting beringin yang menaungimu! Aku tak ingin bersendirian bersama kamu ataupun rumput dan gulma. Aku ingin kembali!"
Rumput gajah yang hijau mengusap-ngusap punggung daun kering itu dengan kasih dan iba, ia berbisik teramat pelan pada tanah, "Sungguh keterlaluan sang angin itu! Ia telah menggugurkan daun yang rapuh dan tak tahu bahwa sungguh mustahil baginya untuk kembali menghuni pucuk ranting bersama daun yang lain."


Angin yang merasa bersalah langsung bertiup kencang bermaksud mengembalikan daun kuning kering itu kembali ke asalnya, namun agaknya usaha itu menjadi sia-sia. DAun itu terbang kesana kemari, bahkan terbang tinggi hampir menyentuh ranting tempatnya biasa tinggal. Tapi tetap saja ia tak bisa kembali kesana dan lagi-lagi terjatuh melayang. Rumput dan tanah yang iba segera mendekapnya lembut," Hentikan saja...sia-sia baginya untuk kembali. Ia harus belajar menjalani hidup barunya disini. Ia harus belajar bahwa tak ada cara untuk kembali ke masa lalu."

Daun tersedu pilu hingga langit memuram dan turut menangis. Air mata angkasa yang deras mengulaikan daun yang lelah dan tersujud di pelukan tanah yang kini mulai menjadi becek. Tubuhnya mulai menjadi kotor dan sobek, sungguh daun merasa merana dan sendirian. Keluarganya di pucuk ranting hanya menengok sedikit padanya ketika hujan turun, tapi mereka semua enggan menemaninya di bawah sana.

Daun merasa sudah hampir tiba detak hayatnya, ia telah tercerabut dari lingkungan yang mebesarkannya dan terlempar sendirian di tempat yang biasanya hanya ia lihat dari ketinggian di atas sana. "Aku ingin kembali pada keluargaku", isaknya letih. Tanah mengecup keningnya yang basah dan kotor, "Kau tak sendirian. Aku adalah keluargamu yang baru. Sebentar lagi dirimu akan menajdi bagian diriku...kita akan bersama-sama menyuburkan pohon keluargamu, kau akan melebur bersama mineral dan segala renik kehidupan dalam tubuhku yang akan menjamin kelangsungan hidup keluargamu yang lain...."

Daun masih saja menangis bersama langit, angin masih saja sia-sia menebus rasa bersalahnya dan tanah masih menunggu dengan sabar sampai tiba waktunya daun menjadi ikhlas. Suatu ketika nanti...

-inspired by SDD's haiku and the rainy night at Eja's..."someday, soon..."-