lundi 13 novembre 2006

DARI MASA LALU

Di detik ini herman hesse menuliskan siddharta di punggung tangan seorang gautama yang terus menyeka keringat sehabis berlari cepat bagai lima peluru yang baru saja dilepaskannya ke udara sementara fifi alone duduk menunggunya sambil meneriakkan gloria in excelsis dio meski suaranya tidak segarang gloria gaynor saat menggumamkan I will survive!

Ribuan detik sebelum ini seorang agen rahasia mencari jejak sun signs yang ditinggalkan linda goodman disepanjang lorong-lorong yogyakarta suddenly happywounded karena tertabrak oleh gerobak penjual noodle gorillaz yang terlalu sibuk mengorek upil, membersihkan jigong agar lambenya bisa bicara “are you lost little girl?” katanya padaku sambil menyorongkan dua buah sikat gigi pepsodent merah dan biru yang selalu tertinggal di motor silvernya.

Di detik itu she whispered a blindfolded wish before his ears no mes ames, don’t love me tapi dia membalas dengan suara bob tutupoly-nya ( tepat di pukul 11.27 siang hari jumat) everytime I received a sms/call from you he was deg-degan karena itu aku jadi semakin sentimental dan suka melihatnya begitu licik dan sok tau ngomong latin in hora amor mortae sampaikan salamku pada hening ave silencia.

Ribuan detik didepan detik ini tingtungtingtungtingtung! Ia menekan bel dimuka sebuah pintu surga antik ukiran madura monggo pinarak oh terima kasih tante katanya ia akan menambahkan lima huruf namanya dibelakang nama saya tiga ratus enam puluh lima hari lagi setelah detik itu dia menanyakan padanya bagaimana caranya membunuh kenangan yang mengerak didasar hot plate udang pedas.

Di detik detik yang akan datang. a lonely dancer tetap berdiri diatas gelombang waktu dalam seratus tahun kesunyian laksana garcia marquez menanti sang silent seeker yang terus melaju bagai lima butir peluru yang barusan dilepaskannya ke udara sambil berteriak tanya bagaimanakah caranya membalaskan rindu dendam antara kau dan aku?

Yogyakarta, 28 Mei 2003
A souvenir from a suicidal journey to the east

BoelVadag'sHappyWounded

Adalah karena
Kaulawan
Sunyi
Saat seharusnya
Kau memeluknya

Adalah karena
Kau balut luka
Saat seharusnya
Kau biarkan
Ia
Mengering
Pada saatnya
Pada musimnya

Adalah karena
Kau coba tenangkan
Rasa gatal-gatal itu
Saat seharusnya
Kau menggaruknya

AKU

aku kiki.
separuh diriku adalah air yang terus mengalir...
separuhnya lagi adalah cadas yang keras........
separuh lainnya adalah api yang menghanguskan.
separuh lainnya adalah angin yang sejuk dan setia
...........dan aku tidak mengenali separuh lainnya
Tunjukkan seringaimu hai pembunuh kata!
jangan kau bersembunyi dibalik ganas aksara!!

ROLET RUSIA

siapa yang akan lebih dahulu menarik picu?
kau?
atau aku?
siapa yang akan lebih dahulu tertembus peluru?
kau?
atau aku?

ps: kelak kenanglah aku hanya bilamana perlu..

KADO

apakah sudah kau terima
paket bersampul coklat
isi kupu-kupu perak
yang kutangkap dari taman hatiku?
sebagai hadiahku untuk ulang tahunmu

SETIAP

Setiap (1)

Setiap kali melulu wajahmu yang mengisi benakku.
Setiap kali melulu tutur merdumu menambur gendang telingaku.
Setiap kali melulu sikap emosimu yang menghuni pelupukku.

Setiap kali melulu aku bertanya dan tersipu:
Bagaimana caranya semenit saja melupakanmu?

Setiap (2)

Kenapa setiap kali aku merasa
Bagai anak domba yang kau panggil merumput di ladang hatimu
dengan dendang kupu-kupu yang memanjakanku,
lantas tiba-tiba terjebak dalam benteng kawat berduri
yang tiba-tiba kau pancang mengelilingi hatimu.
Tak ada celah untukku keluar, aku tersangkut pilu.
Berdarah-darah dan sunyi,
Sendirian terkait di kawat berduri yang mengelilingi hatimu.

i love you for sentimental reasons

Kadangkala aku bertanya-tanya bagaimanakah kelak episode ini berakhir? Apakah kisahku dengannya akan ditutup dengan kalimat “dan merekapun hidup bahagia selama-lamanya” bak dongeng Cinderella? Aku tak tahu. Lagipula, bagaimana kau mendefinisikan bahagia, apalagi dengan embel-embel ‘selama-lamanya’? seberapa lamakah selama-lamanya itu? Adakah bahagia yang selamanya macam itu? Ah, pernahkah kau bertanya-tanya juga, apa yang terjadi pada Cinderella dan pangerannya setelah kata “bahagia selama-lamanya”? Bagaimana cara mereka mengatasi masalah dan berbaikan lagi setelah mereka berselisih paham dan bertengkar karena hal-hal yang mungkin seharusnya tidak dipertengkarkan? Apakah Cinderella dan pangeran masih bergenggam tangan dan menatap mesra saat mereka sudah berusia senja? Apakah kita akan bersama dan hidup bahagia selamanya? Aku sungguh tak tahu. Tapi aku ingin sekali berkesempatan mencoba kemungkinan-kemungkinan itu.

Ada berapa kemungkinan cerita yang mungkin kumiliki dalam sepenggalan kisah hidup? Kisah ini bisa berlanjut menjadi kisah yang mana saja. Aku berdebar setiap kali memikirkan belasan bahkan puluhan kemungkinan arah selanjutnya kisahku dengannya. Aku seringkali merekonstruksi lagi kenangan-kenangan dengannya dan kadang aku mengulang beberapa bagian yang kusukai sampai beberapa kali. Aku tak punya banyak benda yang bisa kukenang darinya, kecuali kenangan-kenangan kami. Apakah ia juga pernah memikirkanku dan mengenangku? Aku tak tahu...

Aku tak percaya akhirnya kukatakan juga semua perasaan ini kepadanya. Banyak orang berpikir perempuan seharusnya diam. Menunggu. Berburu dengan pasif. Tapi kali ini aku tak bisa seperti itu lagi. Aku akan mengatakan apa yang bisa kukatakan hari ini, karena mungkin saja esok aku tidak akan punya kesempatan untuk mengatakan padanya. Aku tidak ingin menyesalinya. Aku tidak ingin menimbun lebih banyak harapan dan kenangan bila perasaan tidak berbalas. Mungkin ini hanya semata masalah waktu: sekarang atau nanti.

Ah, andai aku bisa memiliki waktu...
Tapi itu tak mungkin. Tak seorangpun bisa menggenggamnya atau menahan lajunya. Aku tengah berpacu dengan waktu, mungkin ia juga begitu...kita tak pernah tahu atau sadar betapa lajunya waktu berlari. Tahu-tahu pesta dansa Cinderella sudah hampir selesai. Jangan sampai kereta kencana berubah lagi menjadi labu sebelum aku sempat menaikinya dan tiba di rumah dengan selamat. Aku hanya merasa harus melakukan apa yang harus kulakukan.

Sebab itu kukatakan padanya, pemuda yang menyengat hati itu bahwa aku sangat menyayanginya dan merasa begitu beruntung pernah mengenalnya. Ia membantuku menjadi orang yang lebih baik dan ia membuatku percaya adanya ketulusan yang tak pamrih. Kuharap ia juga merasakan apa yang aku rasakan. Pun andai tidak, aku ingin meminta ijinnya untuk boleh terus menyimpan kenangan tentang dirinya dalam sudut khusus yang terjaga aman di hatiku dan aku ingin meyakinkannya bahwa ikatan hati kami tak akan kubiarkan renggang apapun yang terjadi. Aku masih menunggunya disini. Aku ingin dia tahu bahwa ada seseorang di dunia ini yang teramat menyayanginya dan menunggunya kembali...

for my beloved soulmate, whoever you are God gave me :)
...i know somewhere, there is someone waiting for me.

THE PRAYER

Ingatkah kau, suatu ketika di joglo pinggir kali,
Ketika Ahad datang berseri dan hati kita tengah terbakar api.
Kita duduk berdua di amben kayu jati, terdiam membiarkan semua kata dilumat sunyi.
Kulihat pandangmu jauh melintasi hamparan pasir gunung Merapi,
Melompati tumpukan kayu bakar dan perempuan berkebaya yang menyapu halaman dengan sapu lidi.
Bara merah melompat jatuh dari rokok diselipan jemari...
“Seharusnya tak kubiarkan kau kemari, hai belahan diri...”
“Aku berjanji tak akan jatuh hati...”
“Mungkin kau tidak...tapi kau tak tahu siapa yang kau hadapi. Sejak awal sudah kukatakan hatiku telah kau kuasai!”

Sehelai daun hijau tua jatuh dan masuk kali. Mengapa kita tak boleh saling memiliki?

*****

Sore hampir tamat. Ia masih terpaku berdiri di sisi jendela kantornya yang menghadap ke barat, menerawang jauh melintasi gedung-gedung yang seolah berebutan menggapai awan jingga. Dimatanya yang berkaca-kaca tersimpan kepingan-kepingan harapan. Ia menghela nafasnya begitu panjang, seperti setengah berharap dapat menghirup seluruh kekuatan di dunia untuk masuk ke dalam tubuhnya. Tembang The Prayer milik Josh Groban sendu mengalun melatari kebekuan waktu.
“I pray you’ll be alright...”

Ia berjuang menahan jebolnya tanggul air mata yang siap merangsek dari setiap kerjapan matanya. Ia melirik jamnya. Sudah 2400 jam 24 menit dan 24 detik sejak perjumpaan terakhir mereka. Dalam hati ia berdo’a agar lelaki itu baik-baik saja. I’ll pray you’ll be alright.

Sekali lagi ia menghela nafasnya begitu panjang. Ia tengah mencari kabar kekasihnya dibalik tebaran awan yang mulai berubah merah keunguan. Apakah kekasihnya baik-baik saja? Apakah kekasihnya bahagia? Apakah kekasihnya pernah memikirkan dirinya sebanyak ia memikirkannya? Apakah kekasihnya masih mengingat kenangan terakhir mereka yang saat ini sedang diingatnya begitu ia mendengarkan lagu ini? Apakah kekasihnya pernah berusaha mencarinya...menghubungi polisi, menelepon program tali kasih di stasiun televisi, mengumumkan di koran dan radio atau bahkan sekedar mencarinya dibalik tebaran awan yang mulai berubah merah keunguan?

Ia beringsut menuju komputernya. Suara Josh Groban masih saja memenuhi ruang kerja dan ruang hatinya. Ia sudah clicked button Internet Explorer. Ia masih mengingat e-mailnya. Ia berpikir untuk menyapanya lewat sebaris kalimat basa basi yang amat basi, namun ia segera mengurungkan niatnya. Bukankah sudah 2400 jam 24 menit dan 24 detik sejak perjumpaan terakhir mereka, lelaki itu tak pernah lagi membalas sapanya meski cuma satu kata? Dulu ia bahkan sempat menulisi surat yang begitu panjang bercerita tentang perasaan dan kerinduannya, namun lagi-lagi semuanya tak berbalas. Begitulah, sejak itu ia berusaha lebih menahan diri dan tahu diri untuk tidak menghubunginya lagi. Tanda seru telah dibubuhkan pada kalimat penutup kisah mereka.

Ia kembali bersandar di jendela. Suara Josh Groban baru memasuki menit ke 2, masih pada lagu yang sama, yang sudah diputar lagi untuk ke 7 kalinya. Merah langit mulai terburai menjadi ungu. Ia mulai merasa lelah, marah dan hilang arah. Mengapa ia harus terlahir dengan keyakinan yang berbeda dengannya? Mengapa harus ada begitu banyak Tuhan apabila dunia berkata semua menuju yang Satu semata dan demi tujuan yang satu jua? Mengapa Tuhan harus mempertemukan dan menanamkan cinta di hati sepasang anak manusia bila mereka harus dipisahkan lagi atas Nama-Nya juga?

Ia lantas kembali bergerak menjauhi jendela untuk meraih telpon genggamnya. Tidak ada sms ataupun missed call dari belahan jiwanya dan seperti kemarin dan kemarin dan kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin, ia segera mendial satu nama. Belahan Jiwa. Ia ingin sekali menyatakan segenap kerinduannya, betapa inginnya ia kembali pada suatu Minggu dua puluh delapan November pagi 2400 jam 24 menit dan 24 detik yang lalu...saat untuk terakhir kalinya mereka bertemu di sebuah joglo di kaki Merapi. Namun seperti juga kemarin dan kemarin dan kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin, ia segera saja mematikan teleponnya bahkan sebelum nada sambung berbunyi. Kesal dengan dirinya, ia segera membuka pintu teras kantornya yang terletak di lantai sembilan dan melempar jauh-jauh telepon genggamnya.
I'll pray she'll be allright

Buat Arya dan Febri. I'll pray you'll be allright