vendredi 18 janvier 2008

REQUIEM SANG DAUN

Angin iseng menghembus daun-daun tertidur siang. Daun yang terkejut langsung terjatuh melayang. Rumput hijau yang tengah menengadah dengan sigap menangkap daun yang masih kaget terguncang.

"Hai angin!Kenapa kau gugurkan ia sontak begitu?"

"Aku hanya ingin menggoda daun yang terlelap dengan cantiknya. Kuning tubuhnya begitu menggemaskanku! Lagipula, aku hanya ingin membuat tidurnya terasa lebih nyaman karena sejukku", balas angin dengan riang.
Daun kuning langsung berkerut seperti bersungut, merajuk manja mengadu pada tanah merah yang mengalas hijau rumput gajah. Tanah tersenyum bijak merengkuh daun yang masih merengut, "Kemarilah hai daun yang rapuh, akan kujaga engkau dengan tubuhku yang gembur."


Namun daun masih saja cemberut, "Aku ingin kembali lagi tertidur bersama keluargaku di pucuk ranting beringin yang menaungimu! Aku tak ingin bersendirian bersama kamu ataupun rumput dan gulma. Aku ingin kembali!"
Rumput gajah yang hijau mengusap-ngusap punggung daun kering itu dengan kasih dan iba, ia berbisik teramat pelan pada tanah, "Sungguh keterlaluan sang angin itu! Ia telah menggugurkan daun yang rapuh dan tak tahu bahwa sungguh mustahil baginya untuk kembali menghuni pucuk ranting bersama daun yang lain."


Angin yang merasa bersalah langsung bertiup kencang bermaksud mengembalikan daun kuning kering itu kembali ke asalnya, namun agaknya usaha itu menjadi sia-sia. DAun itu terbang kesana kemari, bahkan terbang tinggi hampir menyentuh ranting tempatnya biasa tinggal. Tapi tetap saja ia tak bisa kembali kesana dan lagi-lagi terjatuh melayang. Rumput dan tanah yang iba segera mendekapnya lembut," Hentikan saja...sia-sia baginya untuk kembali. Ia harus belajar menjalani hidup barunya disini. Ia harus belajar bahwa tak ada cara untuk kembali ke masa lalu."

Daun tersedu pilu hingga langit memuram dan turut menangis. Air mata angkasa yang deras mengulaikan daun yang lelah dan tersujud di pelukan tanah yang kini mulai menjadi becek. Tubuhnya mulai menjadi kotor dan sobek, sungguh daun merasa merana dan sendirian. Keluarganya di pucuk ranting hanya menengok sedikit padanya ketika hujan turun, tapi mereka semua enggan menemaninya di bawah sana.

Daun merasa sudah hampir tiba detak hayatnya, ia telah tercerabut dari lingkungan yang mebesarkannya dan terlempar sendirian di tempat yang biasanya hanya ia lihat dari ketinggian di atas sana. "Aku ingin kembali pada keluargaku", isaknya letih. Tanah mengecup keningnya yang basah dan kotor, "Kau tak sendirian. Aku adalah keluargamu yang baru. Sebentar lagi dirimu akan menajdi bagian diriku...kita akan bersama-sama menyuburkan pohon keluargamu, kau akan melebur bersama mineral dan segala renik kehidupan dalam tubuhku yang akan menjamin kelangsungan hidup keluargamu yang lain...."

Daun masih saja menangis bersama langit, angin masih saja sia-sia menebus rasa bersalahnya dan tanah masih menunggu dengan sabar sampai tiba waktunya daun menjadi ikhlas. Suatu ketika nanti...

-inspired by SDD's haiku and the rainy night at Eja's..."someday, soon..."-

Aucun commentaire: