lundi 13 novembre 2006

THE PRAYER

Ingatkah kau, suatu ketika di joglo pinggir kali,
Ketika Ahad datang berseri dan hati kita tengah terbakar api.
Kita duduk berdua di amben kayu jati, terdiam membiarkan semua kata dilumat sunyi.
Kulihat pandangmu jauh melintasi hamparan pasir gunung Merapi,
Melompati tumpukan kayu bakar dan perempuan berkebaya yang menyapu halaman dengan sapu lidi.
Bara merah melompat jatuh dari rokok diselipan jemari...
“Seharusnya tak kubiarkan kau kemari, hai belahan diri...”
“Aku berjanji tak akan jatuh hati...”
“Mungkin kau tidak...tapi kau tak tahu siapa yang kau hadapi. Sejak awal sudah kukatakan hatiku telah kau kuasai!”

Sehelai daun hijau tua jatuh dan masuk kali. Mengapa kita tak boleh saling memiliki?

*****

Sore hampir tamat. Ia masih terpaku berdiri di sisi jendela kantornya yang menghadap ke barat, menerawang jauh melintasi gedung-gedung yang seolah berebutan menggapai awan jingga. Dimatanya yang berkaca-kaca tersimpan kepingan-kepingan harapan. Ia menghela nafasnya begitu panjang, seperti setengah berharap dapat menghirup seluruh kekuatan di dunia untuk masuk ke dalam tubuhnya. Tembang The Prayer milik Josh Groban sendu mengalun melatari kebekuan waktu.
“I pray you’ll be alright...”

Ia berjuang menahan jebolnya tanggul air mata yang siap merangsek dari setiap kerjapan matanya. Ia melirik jamnya. Sudah 2400 jam 24 menit dan 24 detik sejak perjumpaan terakhir mereka. Dalam hati ia berdo’a agar lelaki itu baik-baik saja. I’ll pray you’ll be alright.

Sekali lagi ia menghela nafasnya begitu panjang. Ia tengah mencari kabar kekasihnya dibalik tebaran awan yang mulai berubah merah keunguan. Apakah kekasihnya baik-baik saja? Apakah kekasihnya bahagia? Apakah kekasihnya pernah memikirkan dirinya sebanyak ia memikirkannya? Apakah kekasihnya masih mengingat kenangan terakhir mereka yang saat ini sedang diingatnya begitu ia mendengarkan lagu ini? Apakah kekasihnya pernah berusaha mencarinya...menghubungi polisi, menelepon program tali kasih di stasiun televisi, mengumumkan di koran dan radio atau bahkan sekedar mencarinya dibalik tebaran awan yang mulai berubah merah keunguan?

Ia beringsut menuju komputernya. Suara Josh Groban masih saja memenuhi ruang kerja dan ruang hatinya. Ia sudah clicked button Internet Explorer. Ia masih mengingat e-mailnya. Ia berpikir untuk menyapanya lewat sebaris kalimat basa basi yang amat basi, namun ia segera mengurungkan niatnya. Bukankah sudah 2400 jam 24 menit dan 24 detik sejak perjumpaan terakhir mereka, lelaki itu tak pernah lagi membalas sapanya meski cuma satu kata? Dulu ia bahkan sempat menulisi surat yang begitu panjang bercerita tentang perasaan dan kerinduannya, namun lagi-lagi semuanya tak berbalas. Begitulah, sejak itu ia berusaha lebih menahan diri dan tahu diri untuk tidak menghubunginya lagi. Tanda seru telah dibubuhkan pada kalimat penutup kisah mereka.

Ia kembali bersandar di jendela. Suara Josh Groban baru memasuki menit ke 2, masih pada lagu yang sama, yang sudah diputar lagi untuk ke 7 kalinya. Merah langit mulai terburai menjadi ungu. Ia mulai merasa lelah, marah dan hilang arah. Mengapa ia harus terlahir dengan keyakinan yang berbeda dengannya? Mengapa harus ada begitu banyak Tuhan apabila dunia berkata semua menuju yang Satu semata dan demi tujuan yang satu jua? Mengapa Tuhan harus mempertemukan dan menanamkan cinta di hati sepasang anak manusia bila mereka harus dipisahkan lagi atas Nama-Nya juga?

Ia lantas kembali bergerak menjauhi jendela untuk meraih telpon genggamnya. Tidak ada sms ataupun missed call dari belahan jiwanya dan seperti kemarin dan kemarin dan kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin, ia segera mendial satu nama. Belahan Jiwa. Ia ingin sekali menyatakan segenap kerinduannya, betapa inginnya ia kembali pada suatu Minggu dua puluh delapan November pagi 2400 jam 24 menit dan 24 detik yang lalu...saat untuk terakhir kalinya mereka bertemu di sebuah joglo di kaki Merapi. Namun seperti juga kemarin dan kemarin dan kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin, ia segera saja mematikan teleponnya bahkan sebelum nada sambung berbunyi. Kesal dengan dirinya, ia segera membuka pintu teras kantornya yang terletak di lantai sembilan dan melempar jauh-jauh telepon genggamnya.
I'll pray she'll be allright

Buat Arya dan Febri. I'll pray you'll be allright

Aucun commentaire: