lundi 12 mars 2007

3 EPISODE - 2.1: SURAT UNTUK LELAKIKU

Lelakiku tercinta,
Surat ini kutulis dalam kelam malam di sudut Jakarta yang belakangan ini makin terasa panas, sumpek, menyengat dan menyesakkan. Sebagian Jakarta mungkin mulai terlelap mendekap senyap, sebagian yang lain mungkin baru mulai merangkak mendaki kehidupan. Di tempatku memikirkan dirimu, bulan kelinci bulat sempurna merah jambu tersipu malu dibalik awan kelabu.

Apakah yang sedang kamu lakukan sekarang Lelakiku? Apakah kamu tengah menikmati secangkir cappuccino hangat, seperti yang tengah mengepul di sebelah monitor komputerku? Apakah kamu tengah bersepeda menyusuri tepian kali atau mengendara kereta membelah jangkungnya kota? Apakah kamu sedang berada di suatu tempat entah dimana di balik bumi menatap senja, memandang cakram merah nanar perlahan tenggelam menjadi malam? Kutulis surat ini perlahan-lahan Lelakiku, seolah bukan tangan yang bergerak diatas kertas ini, melainkan hati yang mengungkapkan dirinya ke dalam tinta, menyatakan maksud setuntas-tuntasnya, langsung membentuk deretan aksara yang berusaha merengkuh dirimu , nun entah di ufuk yang mana.

Malam masih saja kelam dan bulan merah jambu bulat sempurna bagai hendak melubangi langit hitam, awan bagai iri menyelubungi lembut sinarnya, begitu rupa seolah bulan mulai mengkerut dan menjauh. Tapi apakah semua itu masih penting sekarang ini, Lelakiku? Bulan yang mulai lenyap dilalap awan gelap tidaklah lebih penting dari begitu banyak hal yang terjadi hari ini – kupu-kupu yang baru saja moksa dari kepompong setelah tapa bratanya, anak-anak kecil yang mengamen di perempatan Lebak Bulus dan beradu mulut dengan supir mikrolet yang tadi kutumpangi, lumpur panas Lapindo yang mengaramkan lebih banyak lagi kehidupan di Sidoarjo, Tommy Soeharto yang mungkin mengira segala dosa dan nista akan segera nihil setelah umrah, burung besi putih biru yang baru saja mendarat dari kembara panjangnya, seorang muridku mengatakan “how does it feel to be in love,miss?”

Aku tahu, aku bisa saja menelepon kamu Lelakiku dan kita akan bicara panjang lebar mengenai berbagai hal dan perasaan yang kalah penting dari headline dan isi harian Media Indonesia atau Kompas, mengalir begitu saja sampai pulsa telepon genggamku habis. Begitu lama, sebisanya, seperti banyak kali yang selalu terjadi pada banyak malam sebelumnya.

Tapi, kali ini, biarkanlah aku menuliskan surat ini untukmu, demi sesuatu yang barangkali bisa abadi. Siapa tahu? Boleh saja kan berharap segala sesuatu yang paling kecil, paling sepele, paling tidak penting, tapi mungkin indah bagi kita berdua, bisa tetap tinggal abadi? Seperti ketika kita memandangi bulan yang begitu indah dan tak akan terulang lagi datang dalam pesona yang sama namun masih tetap tinggal indah dalam kenangan kita.

Begitulah memang kita bertemu Lelakiku, dalam sebuah ruang semesta nan maya, dimana waktu tak terlacak dan deretan nama dan profil-profil manusia bisa begitu saja terlupakan, dimana kita hanya bisa saling memandang dalam diam, tak selalu ketemu, tak selalu bicara dan tak selalu dalam keadaan bahagia, tapi bisa saling merasakan keberadaan masing-masing dan dengan itu toh kita bisa membangun dunia kita sendiri. Dari kelam ke kelam malam kita arungi waktu, Lelakiku dengan gumam dan dendang perlahan-lahan karena ruang dan waktu bukan hanya milik kita dan setiap orang selalu merasa memiliki kepentingan yang sama besarnya. Nama-nama berebutan mengejar kebahagiaannya sendiri, demikian pula kita berdua. Barangkali memang kepentingan dan kebahagiaannya jauh lebih besar dari kepentingan dan kebahagiaan kita. Bisakah diterima bahwa perasaan kita begitu penting untuk sebuah kota yang gemerlapan bermandi cahaya hingga bulanpun surut mundur karena merasa tiada arti? Kadang aku merasa bersalah karena gelisah tak dapat tidur saking kangennya padamu, Lelakiku, sementara di luar sana begitu banyak orang gelisah tak dapat tidur karena rumah mereka hancur dilantak gempa, diterjang tsunami atau digempur lumpur.

Setiap kali usai membaca surat-surat elektronikmu atau setelah kita berbicara berlama-lama di telepon, aku sering berkata diam-diam dalam hati, “Betapa waktu begitu singkat, betapa perasaan begitu nisbi.” Waktu memang tak akan pernah cukup Lelakiku, tak akan pernah cukup untuk begitu banyak keinginan dalam hidup kita yang tampaknya begitu mustahil untuk terpenuhi, seperti begitu banyak cita-cita dan fantasi tersembunyi kita yang barangkali akan tetap tinggal tersembunyi selama-lamanya. Barangkali aku hanya harus merasa semua ini sudah cukup dan bersyukur karena sempat mengalaminya. Berterimakasih pada Tuhan karena kita sempat mengalami saat-saat indah yang pasti akan terukir manis dalam benak, hingga membangkitkan haru ketika mengenangnya. Seperti perasaan kita ketika memandangi keindahan pantulan purnama dipermukaan danau yang tenang, yang toh tak bisa tetap tinggal disana.

Lelakiku tercinta,
Barangkali kita memang tidak usah terlalu peduli dengan semua ini. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk maju terus dengan hidupku lalu melupakan cintaku padamu yang mulai kau biarkan berdebu. Memang banyak hal tidak harus selalu kita mengerti Lelakiku. Ada saatnya kita tidak harus mengerti apa-apa, tidak perlu memaklumi apa-apa dan tidak perlu menyesali apa-apa, kecuali berusaha mencoba bergerak, ikhlas dengan apapun hasilnya dan tegar menjalani apa yang memang tidak lagi dapat diubah.

Tapi, sudahlah Lelakiku kita kenang saja waktu dalam secangkir cappucino di sebelah monitor komputer kita yang akan segera mendingin sebelum dini hari tiba. Bukankah selama ini kita sudah cukup bahagia, meskipun hanya saling bertanya dan bersapa dari jauh? Melepas jenuh dari segala berita tentang dunia dan teman-teman yang selalu mengeluh dan lelah mengejar uang yang penuh darah, airmata juga peluh. Tidakkah kau pikir hidup kita begitu fana, Lelakiku? Sepotong riwayat diantara jutaan tahun semesta, dua orang di tengah belantara peristiwa. Apakah kita masih memiliki arti, Lelakiku, dalam ukuran tahun cahaya?

Kadang aku bertanya-tanya, benarkah semua ini ada maknanya? Sefolder penuh surat elektronik, chat- percakapan tanpa suara, tagihan telepon yang membuatku menggaruk kepala dan begitu banyak percakapan yang kadang-kadang terputus dan terganggu. Beberapa keping puzzle masih belum terpasang. Kisah ini bagai tak pernah utuh, tak pernah tuntas dan sulit menjadi lengkap. Namun siapa yang menuntut semua ini harus utuh dan sempurna? Aku sudah lama mafhum semua ini mungkin tak akan menjadi apa-apa dan barangkali memang tidak perlu menjadi apa-apa. Biarkan saja semua seperti ini, apa adanya...

Saat aku memandang keluar dari jendela bis yang melaju dan melihat begitu banyak manusia menyemut lalu lalang, kadang aku berharap dapat menemukan kamu diantara kesibukan kota. Kadang aku berharap terlahir menjadi elang emas yang sanggup menempuh jarak ribuan mil agar dapat mengetuk pintu kamarmu nun di belahan bumi penuh tulip oranye. Tapi nyatanya aku masih disini, masih saja mengumpulkan surat-suratmu, membacanya berulang-ulang dan menulisimu berlembar-lembar surat. Kalaulah aku dapat menuliskan surat ini langsung ke dalam hatimu, Lelakiku, aku akan melakukannya. Seperti awan mengubah dirinya menjadi hujan agar bisa menyatu dan menghijaukan daratan. Tapi aku tak bisa melakukannya Lelakiku, aku hanya bisa menulis surat seperti sekarang ini, surat seseorang yang mungkin agak kacau pikirannya, kurang waras, tidak jernih dan terlalu banyak mengumbar perasaan. Maafkanlah semua ini Lelakiku, barangkali aku memang tidak terlahir untuk membahagiakan semua orang, bahkan mungkin juga padamu yang kucintai.

Lelakiku tercinta, masih selalu tercinta dan akan selalu tercinta,
Masihkah kau bertanya-tanya sendiri, apa yang membuatku sedemikian jatuh cinta padamu? Apakah kau masih ragu bahwa mekanisme perasaan dari tiada menjadi debar di dada lalu diterima sebagai cinta, bisa tumbuh dari sesuatu yang maya? Malam makin gelap di luar sana, sepertinya awan telah berhasil membuat bulan purnama terlelap dan aku tiba-tiba merasa tua.
Jangan tertawakan suratku ini Lelakiku, ini bukan keinginanku sendiri. Aku hanya mencoba jujur menuliskan surat yang menerjemahkan diriku kepadamu. Cahaya rembulan masih tegar menerangi malam, tapi tak juga mampu mengusir suasana hatiku yang lagi-lagi menjadi rawan. Aku menatap telepon genggam yang tergeletak tak berdaya dihadapanku. Haruskah kutelepon dirimu dan membiarkan surat ini lagi-lagi tak terselesaikan bagai puluhan surat tak selesai lainnya untukmu yang teronggok begitu saja dalam kotak warna-warni di lemari pojokan kamar?

Aku sudah lelah, Lelakiku, lelah memanjakan perasaan. Barangkali memang sudah waktunya aku menjadi kejam kepada diriku sendiri, membiarkan perasaanku menggelepar-gelepar dan mencoba hidup bersama dengan kenyataan. Maka aku tetap disini, meneruskan menulis surat kepadamu karena entah mengapa memang kamu yang selalu, selalu dan selalu kukenang dan kucemaskan. Ah, sedang apakah kamu disana Lelakiku? Apakah kamu kehujanan seperti aku pagi ini? Apakah kau tengah berpayung biru berduaan dengan seseorang yang lain? Apakah kamu juga memikirkanku, memikirkan kenangan tertawa bersama dibawah pancuran langit malam itu? Atau tengah tertawa bahagia dan berbunga-bunga karena perempuan lain yang berada di dekatmu setiap saat dan tak terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer dan waktu perjalanan lima belas jam, yang bisa kamu ajak berbicara setiap saat bukan hanya saat ada sedikit pulsa, yang seringkali memutus tiba-tiba pembicaraan kita.

Beginilah keadaanku sekarang Lelakiku. Ceria dan menyenangkan dimana-mana, tapi mulai sering kembali merasa lelah dan penuh rindu padamu saat bersendirian di malam hari. Mungkin seharusnya aku mengundurkan diri dari semua perasaan ini, menyembunyikan diri di balik keheningan dan kelak kembali menghampirimu saat gelombang perasaan ini sudah mereda.

Ah, kenapa aku harus jatuh cinta padamu hai Lelakiku ? Kadang aku benci jatuh cinta, karena cinta bisa begitu menyiksa tanpa ada korban, keras tanpa ada kekerasan dan kejam tanpa perlu ada kekejaman dan bahkan bisa begitu menghancurkan tanpa harus ada penindasan.

Inilah suratku Lelakiku, surat seseorang yang menyandarkan cintanya pada kenangan sebagaimana adanya dan kenangan itu adalah kamu. Kamu dan aku mungkin akan beterbangan ke berbagai pojok dunia dan menjelajahi banyak tempat, menunggangi waktu namun sesungguhnya kamu dan aku tidak akan pernah pergi kemana-mana, Lelakiku. Percayalah, kamu dan aku akan tetap tinggal disini, saling mengenang ketika malam tiba, selamanya, karena aku telah menulis surat tentang kita, tentang segala sesuatu yang pernah terjadi di masa kita, saat kita pernah bersama membuat beberapa kenangan sederhana dan mencoba mengabadikan segala kenangan yang terlintas disini, dalam deretan aksara yang membentuk kata-kata dan makna tercetak, yang tidak akan pernah hilang lagi untuk selamanya.

3 commentaires:

Anonyme a dit…

Salam hangat dari bulan purnama merah jambu. Nice blog, senang bisa kesasar sampe kesini. :)

PROYEKKATA a dit…

terima kasih mas/mbak purnama :)...sering2 nyasar ke sini yaaa. hehehe

Anonyme a dit…

Good words.