samedi 10 juin 2006

REUNI TERAKHIR

Sebuah cerpen

Malam baru saja rebah saat ia menghampiriku di pojokan kotanya. “Kau datang juga akhirnya,Tung” Matanya yang menyorotkan ketakterdugaan samudra itu menatapku tajam. Ah, mata itu…sudah berapa lama sejak terakhir kali ia mengusirku dengan kerlingan matanya di ujung jalan kota ini yang gersang berdebu? “Aku selalu datang, Ting…Hmmm. Akhirnya kau mau menemuiku juga, Ting”. Matanya tersenyum. Bibirnya tidak. “Ayo!” *** Malam di kotanya selalu meruapkan bau kebimbangan. Antara hidup dan tak hidup, antara cinta dan tak cinta. Seperti juga dia. The man who lives forever in between land.


Kami berdua duduk diatas pagar tembok ujung sebuah mini market 24 jam di depan sebuah pertigaan. Berdua kami bersandar pada dinding kios rokok bercat hijau metalik yang telah tutup, menatap gedung bank pembangunan daerah di depan kami. “Bank, Tung...apa mereka juga punya deposit box untuk kenangan-kenangan kita di dalam sana?” suaranya seperti bunyi sunyi. Aku menunduk. Sudut ini begitu gelap. Kota masih lelap didekap senyap. Betapa sulit membunuh kenangan. Kenangan yang dalam 2 tahun perpisahan kami pun masih saja meneteskan merah darah. Dan seperti katanya, aku tahu sia-sia saja mencoba membalut luka saat semuanya masih berdarah, masih bernanah. Ia pernah bilang, “Biarkan lukamu mengering pada masanya, pada waktunya, Tung”.


Tujuh ratus tiga puluh empat hari aku berusaha melupakanmu, Ting. Selama itu. Dan aku masih saja gagal. Tidakkah mekanisme kenangan begitu absurd, sayang? Adakalanya kau mencoba mengumpulkan segala sesuatu agar kenangan tetap membayang, sementara adakalanya pula kau tak bisa melupakan meski kenangan telah kau buang. Aku pernah bertanya pada seseorang ahli forensik, saat kau mengotopsi seseorang, apakah yang kau temukan pada otak seseorang yang mati karena begitu perih merindu? Anak-anak yang dibuang orangtuanya, kakek nenek yang dilupa anak cucunya dan orang-orang yang rindu pada kehidupan bahagia itu? Dimana kau temukan jejak rindunya? Pada hepar yang telah berhenti berdebar atau pada seonggok spons kekuningan dalam kranium yang sering berangan-angan? Ia tidak tahu. Ia tidak bisa membedakan otak orang yang jatuh cinta dan yang membenci dan ia tidak peduli. “ Ah, bukankan beda cinta dan benci juga lebih tipis dari membran yang paling tipis?”.


Kau mengeluarkan sebungkus Gudang Garam merah dan mulai menyulut satu. Ia masih merokok saja, meski dia tahu aku benci itu. Tapi aku sangat menikmati melihat pendar wajahnya dalam dramatisnya sepercik api di tudungan langit malam? Ahha! Tidakkah sekarang kau mengerti bahwa beda cinta dan benci memang begitu tipis? Kau menyungging senyum setipis beda keduanya “Kau pasti sebal aku masih merokok...ah, kau memang seharusnya benci padaku. Merokok atau tidak merokok. Aku memang brengsek, Tung”. Aku diam saja dan merebut lembut rokok itu dari sela jemarinya. Aku menghisapnya perlahan. Dalam dan pelan...teramat pelan. Kau terkejut tapi berhasil meredamnya dengan baik. Kau menatapku dalam raut kesima.

“ Aku tidak pernah tahu perempuan baik-baik dan berjilbab macam kamu bisa merokok”.

“ Aku juga tidak...tapi kenapa harus peduli? Lagipula rokok itu makruh,kau tahu artinya?”

“ Yeahh..”

Ia mengeluarkan sebatang lagi dan kami berdua hanya menghirup nikotin itu dalam-dalam dan pelan-pelan dalam sunyi. Sunyi yang amat cerewet. Malam menghantar kalimat-kalimat yang tak terucapkan.

Kau menarik nafas panjang setelah batang keempat.

“Kau pikir aku juga tak pernah rindu padamu, Tung? Ah, kenapa kau pikir begitu?” Tentu saja kau tahu jawabnya mengapa kau pikir begitu. Kau tak pernah peduli, tak pernah menyapa lagi dan tega membiarkan inginku jadi dingin yang berlalu bersama angin.

“Kau tahu, Tung? Membuat konklusi prematur tentang perasaan seseorang padamu adalah kejahatan yang amat serius. Aku bisa menuntutmu untuk itu” . kau tersenyum.

“ Aku bisa menuntutmu terlebih dahulu atas kejahatan yang lebih serius, Ting”

“ Apa? Memangnya aku pernah memerkosa kamu? Hahaha...kamu satu-satunya pacarku yang masih perawan dan aku menghormati pilihanmu. Aku setengah mati berusaha tak menyentuhmu sama sekali. What could be worse than that? Hahahaha” . kami terkekeh pelan bersamaan kali ini..lalu terdiam lagi.

“ Kau memutilasi hidupku. Kau curi lantas kau campakkan begitu saja hatiku. Sulit bagiku untuk hidup seperti sediakala lagi, Ting. I was heavily paralyzed”.

“ Kau tahu dari awal aku memang seperti itu, kan? Hhhh...yang mungkin tak kau tahu adalah kau juga melumpuhkan hatiku, Tung. Aku tu sayang sekali sama kamu. Kau tahu itu? Kurasa tidak. Bukannya aku tidak pernah mencoba untuk mencintai perempuan-perempuan lain setelah kepergianmu. Ternyata belajar jatuh cinta itu sulitnya bukan main. Kau tahu bukan, aku tak bisa dan tak pernah terbiasa untuk menyandarkan hatiku pada sesiapapun.”

“ Aku tahu “

“ Mencintai itu luka, Tung. Merindukan itu kalah dan cemburu itu bunuh diri bagi hati. Kau tahu rasanya ketika kau bersama dengan lelaki itu? Aku meranggas mati!”

“ Lelaki mana?”

“ Lelaki yang bisa mengembalikan lagi kepercayaanmu pada cinta”

“ Bagaimana kau...”

“ Web blog-mu. Aku membacanya tiap hari”

“ Tapi bagaimana mungkin kau menemukannya? Aku tak pernah beritahu sesiapa” “ Mungkin aku terlalu mengenal dirimu. Mungkin aku tidak sengaja meng-google apapun yang berkaitan dengan kamu, Tung. Nama panggilan kesayangan kita, nama kucingmu..ibumu..apapun. Mungkin waktu itu aku cuma sedang terlalu kangen namun tak punya cukup keberanian untuk menghubungimu dan mengatakannya padamu. Waktu itulah aku menemukan blog-mu. Setiap apa yang kau tulis disitu kuanggap merupakan bagian dari caramu untuk berkomunikasi denganku. Kau berhasil”

Aku tidak pernah berharap dia akan membaca semua tumpahan perasaan yang tertulis dalam sebuah blog yang rasanya alamatnya tak akan pernah diketahui oleh sesiapa. Aku memang tak biasa mengungkapkan perasaanku. Aku menuliskannya, aku merasakannya. Merasa, bergerak dan menjelma kisah. Aku sudah lama kehilangan kepercayaanku pada kepercayaanku pada orang lain. Aku tidak tahu apakah memang begitu sifat manusia. Dua sahabat saling memercayakan rahasia mereka pada satu sama lain, namun saling berlomba menjatuhkan nama dan membonkar borok aib saat mereka berseteru. Aku tidak suka itu. Aku juga sudah lama kehilangan kepercayaan pada cinta. Aku tak lagi percaya. Peperangan dan pembunuhan terkejam pun dilakukan atas dasar cinta. Cinta pada kekasih, pada Tuhan, pada harta..pada apapun. Kau lihat apa yang terjadi di palagan Bubat? Kau tahu apa yang menyebabkan terbunuhnya jutaan orang dalam revolusi kebudayaan Cina? Itu semua karena cinta. Aku tidak tahu pada apa dan siapa lagi aku bisa percaya, kecuali pada Tuhanku.

“ Aku sayang kamu Tung”

“ Aku juga...tapi aku memendam marah padamu, Ting...marah yang kelewat merah dan berdarah”

“ Aku tahu, Tung”

“ Kau memberiku sayap dan membawaku menikmati indahnya dunia, tapi kau yang mematahkannya. Tanpa sebab kau membuat malam-malamku berakhir sembab.”

“ Aku...”

“ Dulu kuanggap kau salah satu cahaya hatiku, Ting...Aku lupa, cahaya yang terang bisa menerangi atau malah membutakan. Ternyata kau cahaya yang membutakanku.”

“Aku berjanji kali ini tidak akan ada lagi sakit hati. Aku kira selama ini aku berhasil memenangkan pertandingan ego ini. ternyata tidak. Aku kalah karena aku tidak bisa menahan diri untuk menghubungimu lagi. Kau juga kalah karena kau bersedia menemuiku lagi meski kita sama-sama tahu aku sudah banyak mengabaikan dan menyakitimu”

“ Tapi ini bukan soal kalah atau menang, Ting. Tapi pilihan untuk tinggal. Kita sudah lama tahu ini akan terjadi. Bahwa akan ada jarak terentang dan perasaan kita akan centang perenang. Kau bermasalah dengan komitmen, aku pun. Kau tak pernah ingin terikat dan aku....Aku sudah jenuh dan ingin segera berlabuh dan membuang sauh. Aku tak ingin memaksa sesiapapun. I’d rather be alone than unhappy.”

“ Maaf ...” Kau terdiam...aku juga. Bergantian menunduk dan menatap bank pembangunan daerah di depan kami. Andai ada alat penghancur kenangan, semahal apapun itu pasti akan kubeli. Untukku satu dan untukmu satu. Angin menghembus pikirku entah kemana. Aneh sekali mengingat bagaimana perasaan bekerja. Sepasang manusia bertemu, tersipu dan bersatu...lalu mungkin jemu lantas berseteru. Kita tak pernah saling mengenal sebelumnya Ting, lalu kau datang memorak morandakan hidupku. Kita menemukan begitu banyak persamaan dalam perbedaan kita. Budaya kita, arah hidup kita, sikap kita, selera bahkan trauma dan kenangan masa kecil kita. Kenanganlah yang mempersatukan kita dan ironisnya, kenangan pula yang memisahkan kita.

“Maaf......” ucapmu sambil merengkuh bahuku masuk kedalam pelukan berbingkai tulang belulangmu. Tak ada kata yang keluar dari mulutku dan juga mulutmu. Aku bersandar di selangka kurus itu tanpa membalas pelukannya sama sekali. Jauh didalam sini, hatiku terasa agak nyeri. Besok pagi aku akan pergi dan tak akan pernah kembali. Riwayat rasa ini, kusudahi sampai disini. Hidupku akan terus berlari, bagai peluru yang terus melaju dan tak lagi ingin melihat kemungkinan-kemungkinan dibelakang, kecuali yang terlihat di ujung matanya. Aku mengucap selamat tinggal keunguan pada masa lalu dan masa depan kami. Semua tamat hingga disini.

Yogyakarta, suatu pagi buta.

3 commentaires:

Anonyme a dit…

Hiks,
Membacanya dari awal hingga akhir,
Ada kedalaman kesedihan di dalamnya,
Pikir menggambarkan kegelapan,
Tapi mungkin perlu ada sedikit "another peak" ketika bersedih-sedih,
jangan terus-terus bersedih dan menghilangkan kesan yang lebih dalam,
seperti Silence of the Lamb, seperti War of the World, seperti The Ring versi Jepang,
high intensity of thrill sesion,
tapi tidak terus menerus menakutkan,

Anonyme a dit…

hoii...
iya nih...tapi kalau yang ini kayaknya agak2 based on true story sih..hehehe, jadi maklum saja bila akhirnya susah untuk menciptakan kebahagiaan ditengah kesedihan saat itu.

Anonyme a dit…

memangnya tulisan diatas itu menakutkan ya? hehehe...yang ada mah gloomy banget.